Merujuk UU, Anggota DPR Sebut Konsil Kesehatan Indonesia Independen, Tidak di Bawah Kementerian
UU tentang Kesehatan mengatur Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) bekerja secara independen dan tidak boleh ada intervensi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) bekerja secara independen dan tidak boleh ada intervensi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengatakan posisi KKI tidak berada di bawah kementerian, melainkan langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
"Indonesia adalah negara presidensial, meski bertanggung jawab melalui menteri, tapi sejatinya tugasnya langsung kepada Presiden," kata Edy dalam keterangannya pada Minggu (10/11/2024).
Pernyataan tersebut disampaikan dalam audiensi dengan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) yang membahas berbagai persoalan terkait pembentukan KKI dan kondisi KTKI.
Edy menjelaskan lebih lanjut bahwa KKI memiliki posisi yang hampir sama dengan lembaga-lembaga independen lainnya, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, anggota Konsil terdiri atas beberapa pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat, profesi kesehatan, kolegium, dan masyarakat.
Edy juga menekankan panitia seleksi (Pansel) KKI harus bersifat independen dan tidak boleh melibatkan pihak pemerintah, karena hal tersebut dikhawatirkan hanya akan mengakomodasi kepentingan pemerintah.
Edy Wuryanto, politisi dari PDI Perjuangan menyoroti soal mekanisme seleksi pimpinan KKI.
Dia menyebutkan bahwa dua anggota Pansel, yakni Arianti Anaya dan Sundoyo, terpilih sebagai Ketua KKI dan Ketua Majelis Disiplin Profesi.
Sementara Komisioner KTKI, Rachma Fitriati, menggarisbawahi pentingnya prinsip Good Public Governance (Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik - AAUPB).
Menurutnya, terdapat indikasi pelanggaran maladministrasi dalam proses penetapan Keputusan Presiden (Kepres) 69/M/2024 dan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 12/2024.
"Kami menduga telah terjadi maladministrasi dalam kedua regulasi tersebut," ujar Rachma.
Dia berharap agar Presiden Prabowo segera turun tangan untuk menuntaskan masalah tersebut.
"Kami menunggu keberpihakan Presiden Prabowo untuk menuntaskan persoalan ini, agar tidak menjadi preseden buruk bagi lembaga non-struktural di Indonesia," ujar Rachma.