'Buzzer' Jokowi, Isu KPK Taliban, dan Pernyataan Moeldoko
Kegaduhan yang diciptakan buzzer pendukung Jokowi terjadi setelah Presiden menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberadaan buzzer pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo di media sosial menjadi sorotan beberapa waktu terakhir.
Pihak Istana Kepresidenan pun sampai-sampai ikut berkomentar.
Kegaduhan yang diciptakan buzzer pendukung Jokowi terjadi setelah Presiden menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
Para buzzer mati-matian membela kebijakan Jokowi yang tidak populer karena dianggap melemahkan KPK itu.
Baca: Gerindra Akui Ada Tawaran soal Menteri dari Istana! Inikah Nama-nama Calon Menteri dari Gerindra?
Baca: Moeldoko: Sekarang, Buzzer Sudah Tidak Diperlukan Lagi
Sebagian buzzer bahkan menuding ada kelompok Taliban di KPK.
Misalnya akun @Billray2019 yang menyatakan "Jokowi Tidak Membunuh KPK.
Selamat tinggal taliban di KPK. Kalian kalah lagi, kalian kalah lagi."
Pernyataan tersebut diunggah pada 13 September pukul 10.03 WIB.
"Isu radikalisme, yakni isu Taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar analis media sosial dan digital dari Universitas Islam Indonesia (UII), Ismail Fahmi.
Selain itu, ada juga buzzer yang menggiring opini pro-revisi UU KPK dengan model giveaway.
Buzzer tersebut menciptakan opini publik di media sosial, khususnya Twitter, dengan memberikan ganjaran voucher berupa pulsa hingga saldo elektronik, seperti OVO dan Go-Pay sebanyak Rp 50.000 kepada dua warganet terpilih dengan membalas dan me-retweet kicauannya sebanyak-banyaknya.
"Jadi yang penting adalah tagarnya. Ketika tagar itu masuk dan jadi trending topic di Twitter, yang penting muncul. Itu jadi alat atau tools mereka untuk memanipulasi publik," papar Ismail.
Unjuk rasa
Keriuhan berlanjut saat mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang salah satunya untuk menolak revisi UU KPK.