Masyarakat Adat Sihaporas Mengadukan Permasalahan Lahan Kepada Partai NasDem
DPP Partai NasDem bidang masyakakat adat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
"Kami sebenarnya bukan lagi pendatang baru, karena kami generasi ke delapan. Tapi pada merdeka Indonesia yang kami harapkan tadinya mau dikembalikan tanah ke kami ternyata diambil negara. Dimasukkan ke kehutanan. Tahun 1992 diberi konsesi kepada PT Ilu yang sekarang berganti nama menjadi TPL," ucap Mangitua Ambarita.
Puncaknya, pada 16 September 2019 lalu, Suasana Desa Sihaporas mencekam setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat dengan pekerja PT TPL.
Perkelahian bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di hutan tanaman industri eukaliptus yang telah dipanen TPL.
Baca: Kenangan Rudiantara 5 Tahun Bertugas Sebagai Menkominfo
Masyarakat adat mengklaim lahan itu sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Pihak TPL dan masyarakat adat pun sempat berdialog.
Namun, karena situasi memanas, perkelahian tidak bisa terelakkan.
Baik TPL maupun masyarakat adat melaporkan dugaan penganiayaan ke Polres Simalungun setelah perkelahian itu.
Ketakutan semakin melanda setelah ada penangkapan dan penahanan terhadap dua pengurus Lembaga Adat Lamtoras, yakni Thomson Ambarita (bendahara) dan Jonny Ambarita (sekretaris).
Padahal, lahan warga merupakan warisan nenek moyang yang sudah dihuni selama delapan generasi atau kurang lebih 200 tahun.
Tanah itu lalu dipinjam paksa oleh penjajah Belanda sekitar 1913 dari generasi kelima keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Hal itu terbukti dalam peta Enclave 1916, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, terdapat tiga titik nama lokasi Sihaporas, yakni Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas, dan Sihaproas Bolon.
"Kami menanam jagung disana, dan kami memang dengan cara demikian menunjukkan bahwa itu tanah kami, dari pihak TPL lewat humasnya beserta 20an orang petugas keamanan melarang kami dengan cara kasar," katanya.
Menurutnya, saat itu petugas keamanan meminta masyarakat menunjukan suratnya.
"Terus saya jawab ada di rumah, saya telepon anak saya untuk mengantar surat, tapi mereka memancing untuk bertengkar," ujarnya.
Akibatnya perselisihan pun tidak terelakan.
Baca: Alasan Ruben Onsu Sebut Betrand Peto Mirip dengan Dirinya dan Sarwendah