Masyarakat Adat Sihaporas Mengadukan Permasalahan Lahan Kepada Partai NasDem
DPP Partai NasDem bidang masyakakat adat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP Partai NasDem bidang masyakakat adat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Pantauan Tribunnews.com, Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Taslim menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas di Kantor DPP Partai Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).
Tampak hadir perwakilan masyarakat adat adalah Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Judin Ambarita, Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris), dan perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Baca: Garuda Select Angkatan Kedua Akan Jalani Uji Coba Empat Klub Italia kata Ratu Tisha Sekjen PSSI
Baca: Kronologi Terbongkarnya Praktik Prostitusi di Cipanas, Tawarkan Lady Boy hingga PSK
Anggota DPR RI Fraksi NasDem Martin Manurung pun tampak hadir menerima kedatangan perwakilan masyatakat adat Sihaporas.
Dalam kunjugannya, Mangitua Ambarita menyampaikan sejumlah permasalah di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Menurutnya, sejak lama, masyarakat adat terlibat konflik lahan dengan PT TPL.
Mulanya, masyarakat adat mempunyai hak ulayat seluas 2.000 hektar di desanya.
Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun sudah mengusahakan lahan sejak tahun 1.800-an.
Ketika itu, lahan dimanfaatkan untuk bertani, mencari hasil hutan, dan tempat pemakaman.
Namun, pada 1910-an, lahan tersebut diambil penjajah Belanda dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana.
Baca: Begal Sadis Ditembak Saat akan Ditangkap, Beraksi Ratusan Kali dan Korbannya Pengemudi
Ketika Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan lahan itu dan pemerintah memasukkan sebagai kawasan hutan.
Namun, pada 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi hutan tanaman industri kepada TPL.
Sejak saat itu konflik lahan antara masyarakat adat dan TPL berulang kali terjadi.