Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: Tidak Tepat Jika Presiden Jokowi yang Ajukan Kembali Revisi UU KPK

tidak tepat jika Presiden yang mengajukan revisi kembali, karena UU KPK hasil revisi itu inisiatifnya datang dari DPR RI.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sanusi
zoom-in Pengamat: Tidak Tepat Jika Presiden Jokowi yang Ajukan Kembali Revisi UU KPK
Tribunnews/Herudin
Poster bertuliskan hal unik dibawa mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang berdemonstrasi di sekitar Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2019). Demonstrasi BEM SI masih mengusung tuntutan yang sama yaitu menolak RKUHP dan membatalkan revisi UU KPK. Tribunnews/Herudin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratma mengkritik Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani yang menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajukan kembali revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke DPR.

Menurut dia, tidak tepat jika Presiden yang mengajukan revisi kembali, karena UU KPK hasil revisi itu inisiatifnya datang dari DPR RI.

"Usul Sekjen PPP Arsul Sani agar Presiden Joko Widodo mengajukan kembali revisi Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke DPR salah alamat. Sebab revisi tersebut adalah atas usul inisiatif DPR. Jadi tidak tepat jika Presiden yang mengajukan revisi kembali," ujar I Made Leo, Selasa (15/10/2019).

Untuk itu dia menegaskan, bukan presiden Jokowi mengusulkan revisi UU KPK.

Namun usul untuk dilakukan legislatif review memang merupakan jalan terbaik untuk merevisi kembali UU KPK.

Dengan syarat, kata dia, materi yang akan dibahas harus terbuka diakses dan diberikan ruang bagi publik untuk memberikan masukan.

"Ini penting agar tidak lagi ada ketidakpercayaan dari rakyat, baik terhadap DPR maupun Presiden," jelasnya.

Berita Rekomendasi

Paling Mendesak adalah Perppu KPK

Di sisi lain, pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak untuk segera diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal itu disampaikan Erwin Natosmal menanggapi usulan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani yang menyarankan Presiden Jokowi mengajukan kembali revisi Undang-Undang tentang KPK ke DPR.

"Saat ini, yang paling mendesak dan dibutuhkan agar KPK tetap berjalan dengan optimal adalah Perppu KPK," ujar Erwin Natosmal.

Usulan Arsul Sani menurut dia, adalah solusi untuk jangka panjang, karena prosesnya akan memakan waktu yang relatif lama.

"Dalam jangka panjang, legislative review perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif kebijakan untuk menyematkan KPK," jelas Erwin Natosmal.

"Untuk jangka pendek, Perrpu KPK adalah solusi yang paling efektif," tegasnya.

Demi Selesaikan Polemik

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyarankan Presiden Joko Widodo mengajukan kembali revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke DPR.

Ia menilai, cara tersebut paling tepat diambil untuk memenuhi aspirasi masyarakat yang keberatan dengan sejumlah ketentuan dalam UU KPK hasil revisi.

"Begitu alat kelengkapan dewan (AKD) terbentuk, di Prolegnas kita bicarakan. Sekaligus prolegnas 2020, pemerintah ajukan revisi UU KPK atas UU hasil revisi itu," kata Arsul saat dihubungi, Selasa (15/10/2019).

Arsul menilai, mekanisme legislative review ini jauh lebih tepat ketimbang Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perppu) KPK.

Sebab, apabila Presiden menerbitkan perppu, DPR hanya memiliki pilihan untuk menerima atau menolak.

Ia khawatir mayoritas fraksi di DPR akan menolak jika Presiden menerbitkan perppu.

"Kalau mayoritas fraksi menilai tidak pas, bisa saja ditolak. Kan itu tidak menyelesaikan masalah," kata Arsul.

Arsul juga tak ingin polemik revisi UU KPK ini justru membenturkan DPR dan pemerintah dan menimbulkan ketegangan baru.

Ia menilai, lebih baik pemerintah dan DPR kembali duduk bersama untuk membahas secara mendalam pasal-pasal dalam UU KPK hasil revisi, khususnya yang dianggap dapat melemahkan lembaga antikorupsi itu.

"Kalau dipaksakan (perppu) kemudian ditolak DPR akan timbul ketegangan baru. Daripada tegang terus-terusan, lakukan legislative review. Ini bisa cepat kok setelah AKD terbentuk akhir bulan ini, November bekerja paling lambat Januari diusulkan revisinya," kata Arsul.

Diberitakan, UU KPK hasil revisi yang disahkan 17 September lalu ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.

Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu. Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.

Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.

Kemudian, kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di sejumlah daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu. Namun, sampai saat ini belum ada keputusan yang diambil Presiden.

Baca: Prabowo dan Airlangga Gelar Pertemuan Tertutup, Ini yang Dibahas

Baca: Cerita Megawati Soal Pentingnya Peran Sekretaris Dalam Partai Politik

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas