Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Politisi PKS Ini Mengaku Sedih karena Merasa KPK Dilemahkan

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan revisi UU KPK merupakan pelemahan terhadap lembaga antirasuah.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Politisi PKS Ini Mengaku Sedih karena Merasa KPK Dilemahkan
Chaerul Umam
Mardani Ali Sera 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi akan mulai berlaku. Sebelumnya DPR sudah mengesahkan UU KPK hasil revisi pada 17 september 2019..

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan revisi UU KPK merupakan pelemahan terhadap lembaga antirasuah.

Satu di antara hal yang ia sorot ialah keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Baca: Bareskrim Polri Indikasikan Fintech Ilegal Bisa Jadi Sumber Pendanaan Terorisme

Baca: Mantan Direktur Krakatau Steel Wisnu Kuncoro Dituntut 2 Tahun Penjara

Baca: Ali Mochtar Ngabalin Garuk-garuk Kepala Sikapi Isu Fadli Zon Akan Jadi Menteri Jokowi

"Saya sedih karena terjadilah musibah KPK dilemahkan karena pasal-pasal yang ada mulai dari syarat menyadap harus izin dewan pengawas dan juga izinnya tertulis," kata Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Menurutnya, KPK seharusnya dapat diperkuat tanpa adanya revisi UU KPK.

Karena itu, politikus PKS ini mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Perppu KPK sebelum undang-undang hasil revisi berlaku mulai pukul 00.01 nanti.

Berita Rekomendasi

"Saya pribadi tetap berpendapat, Pak Presiden perlu mengeluarkan Perppu, sebelum masa berkahir (Undang-Undang KPK) 16 Oktober pukul 23:59," ujar Mardani.

KPK tancap gas

Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) memastikan pihaknya akan bekerja maksimal di hari terakhir berlakunya Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Alasannya, UU KPK hasil revisi akan berlaku pada Kamis (17/10/2019) besok.

UU tersebut otomatis berlaku 30 hari setelah disahkan DPR pada 17 September 2019, meski Presiden Jokowi tidak menandatanganinya.

Hal itu sesuai aturan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Kami akan sangat giat bekerja hari ini, rajin, dan menunjukkan ke masyarakat bahwa UU nomor 30 tahun 2002 sudah ideal. Artinya sebenarnya tidak perlu upaya-upaya pelemahan terhadap UU KPK," ujar Ketua WP KPK Yudi Purnomo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Baca: Tengku Zulkarnain Heran Luka Tusuk Wiranto Awalnya Tiada Darah, Lalu Disebut Mengucur 3,5 Liter

Yudi menegaskan, UU KPK sudah ideal sehingga tidak perlu ada upaya pelemahan lewat revisi UU.

Apalagi, kata dia, revisi UU tidak melibatkan KPK sebagai pelaksana UU yang mengetahui teknis penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

"Tentu teman-teman memahami bahwa nanti malam begitu hari berganti, kewenangan KPK yang dipreteli lewat revisi UU KPK akan berlangsung. Artinya bahwa segala tindakan dari penyelidik, penyidik dan penuntut umum di KPK harus berdasarkan UU baru," ujar dia.

Baca: Densus 88 Antiteror Ringkus Seorang Terduga Teroris di Kota Malang

Yudi kembali menyebutkan 26 poin dalam UU KPK baru yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.

"Karena belum ada peraturan di bawahnya, implementasi teknisnya, karena semuanya akan berubah, mungkin lebih dari 50 persen peraturan internal KPK bisa berubah," katanya.

Di sisi lain, Yudi melanjutkan, dalam dua hari terakhir ini, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak tiga kali.

Baca: Dukung program Jargas ESDM, PGN Selesaikan 8.150 Sambungan Jargas di Probolinggo dan Pasuruan

Menurutnya hal itu sebagai fenomena para koruptor berpesta dengan segera berlakunya UU KPK baru.

"Artinya koruptor di luar sana bisa membaca KPK akan dilemahkan sehingga mereka melihat ini detik terakhir KPK," kata Yudi.

Untuk itu, Yudi meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi guna menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.

"Itulah sebabnya kami meminta kepada bapak presiden agar pemberantasan korupsi tetap lanjut, tidak dikebiri, tidak diamputasi, Perppu merupakan jalan agar KPK bisa tetap memberantas korupsi. Jika perppu tak keluar, tentu saja yang paling diuntungkan dari situasi yang tidak mengenakan ini koruptor," ujar Yudi.

Masih efektif berantas korupsi

Wadah Pegawai (WP) KPK menilai UU Nomor 30 Tahun 2002 masih sangat efektif untuk memberantas korupsi.

Terlebih, KPK belum lama ini melakukan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat kepala daerah.

"Hal ini menandakan bahwa UU Nomor 30 Tahun 2002 masih sangat efektif untuk memberantas korupsi tanpa perlu direvisi," ujar Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap kepada wartawan, Selasa (15/10/2019).

Saat ini, sejumlah akademisi dari berbagai penjuru Indonesia juga menggulirkan gerakan pita hitam.

Cara ini sebagai solidaritas terhadap lima korban yang meninggal pada saat menolak berbagai legislasi bermasalah dalam gerakan #reformasidikorupsi termasuk revisi UU KPK yang dianggap bukannya memperkuat, malah memperlemah.

Baca: Download Lagu Nyaman - Andmesh, Lengkap dengan Chord Gitar, Videonya Ditonton 4,7 Juta Kali

Seperti diketahui, sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundangan, revisi UU KPK akan berlaku secara otomatis dalam waktu 30 hari atau pada 17 Oktober 2019, meskipun tidak disetujui dan ditandatangani Presiden Jokowi.

"Sehingga dalam 2 hari ke depan, KPK akan beroperasi dengan UU yang melemahkan KPK di mana tercatat ada 26 poin yang akan melemahkan KPK," kata Yudi.

Baca: Bamsoet Laporkan Hasil Rakor Persiapan Pelantikan Presiden ke Maruf Amin

Hal tersebut, sambung dia, tentu saja akan memunculkan berbagai kendala dan menyebabkan KPK tak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya untuk memberantas korupsi sesuai keinginan rakyat Indonesia, seperti cita-cita reformasi 1998.

"Bahwa solusi paling efektif, cepat dan efisien saat ini, yaitu Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan Revisi UU KPK secara keseluruhan," ujarnya.

Untuk diketahui, pada Senin (14/10/2019) dini hari tadi, tim penindakan KPK kembali melakukan serangkaian operasi tangkap tangan.

Kali ini, Bupati Indramayu, Supendi dan sejumlah pihak yang diamankan terkait kasus suap proyek di kabupaten setempat.

Terburu-buru

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut kesalahan penulisan atau typo dalam UU KPK hasil revisi terjadi lantaran dibuat dengan terburu-buru dan sangat tertutup.

"Karena itu, kami sekarang bertanya lagi apakah sekarang perbaikan 'typo' itu harus membutuhkan persetujuan antara parlemen dan pemerintah kembali. Apakah parlemen yang sekarang terikat dengan kesalahan yang dibuat sebelumnya sehingga ini semua membuat ketidakjelasan dan kerancuan," kata Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/10/2019).

Menurut Laode M Syarif akibat kesalahan ketik dalam UU KPK hasil revisi menyebabkan KPK sangat ragu menjalankan UU tersebut.

Baca: Dengar Ariel Tatum Cerita Pengalaman Horornya di Mal, Tukul Arwana & Wika Salim Kesal: Ya Ampun!

"Itulah sebenarnya yang mengakibatkan KPK sangat ragu bagaimana mau menjalankan tugasnya, sedangkan dasar hukumnya sendiri banyak sekali kesalahan-kesalahan dan kesalahannya itu bukan kesalahan minor. Ini kesalahan-kesalahan fatal," ujar Laode M Syarif.

Seharusnya, menurut Laode M Syarif, proses pembahasan revisi UU KPK dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat bisa memberikan masukan.

Baca: Hakim Bacakan Vonis Bebas, Terdakwa Kasus Video Ancam Penggal Jokowi langsung Tersungkur

"Kami sih berharap ada proses yang terbuka, ada proses yang tidak ditutupi sehingga masyarakat itu bisa paham. KPK juga bisa paham, bisa mempersiapkan diri bagaimana untuk memberikan masukan," kata Laoden M Syarif.

Dia mencontohkan, KPK tidak alergi dengan dibentuknya dewan pengawas hasil revisi UU KPK tersebut.

Hanya saja, ia berharap agar dewan pengawas yang dimaksud bisa menjalankan tugas sebagaimana fungsinya.

Baca: Sempat Curhat Sebelum Dikabarkan Meninggal, Sulli Eks f(x) Sebut Kehidupan Aslinya Lebih Gelap

"Fungsi dewan pengawasnya ya sebagai dewan pengawas, bukan sebagai bagian dari yang harus menyetujui, menandatangani. (Kalau begitu), itu bukan mengawasi. Nanti orang bertanya lagi, nanti yang mengawasi dewan pengawas ini siapa," ujar Laode M Syarif.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas