Peneliti: Kabinet Baru Alami Penurunan Kualitas
Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik Presiden Jokowi mengalami penurunan kualitas sumber daya manusia dibanding era Jokowi-I.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik Presiden Jokowi mengalami penurunan kualitas sumber daya manusia dibanding era Jokowi-I.
Pemerintah bakal kesulitan mengantisipasi dan menghadapi tantangan global dengan komposisi Kabinet Indonesia Maju.
“Terjadi penurunan kualitas kabinet,” kata dia dalam diskusi Media, di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Ia menjelaskan, penurunan terjadi karena pemilihan menteri yang tidak sesuai kapasitas pada pos kementerian strategis.
Hal itu disebabkan faktor politis mendominasi pemilihan itu dibanding faktor profesionalitas menteri.
“Saya kasih catatan merah ke Menko Perekonomian, Pak Airlangga. Idealnya memang bukan politisi yang menduduki jabatan itu karena pos menko sangat strategis. Lagipula kinerja Pak Airlangga di Kementerian Perindustrian bisa di bilang jauh dari harapan,” papar dia.
Misalnya, deindustrialisasi prematur terus berlanjut, dan Airlangga gagal menahan laju deindustrialisasi.
Baca: Tak Dapat Kursi di Kabinet Indonesia Maju, Partai Hanura: Kami Ditinggal atau Tertinggal?
Pada tahun 2015 kuartal II, share manufaktur terhadap PDB sebesar 20,8% kemudian di tahun 2019 kuartal yang sama turun ke 19,5%. Laju pertumbuhan manufaktur pun 3,54% jauh dibawah pertumbuhan ekonomi yakni 5,05%.
“Saya kira pak Darmin lebih paham kebijakan makro ekonomi dibandingkan Airlangga,” jelas dia.
Ia menilai, paska pengumuman kabinet tidak ada Jokowi effect, apalagi Sri Mulyani Indrawati (SMI) effect. Setelah pengumuman kabinet pun dana asing keluar Rp230 miliar, artinya ada distrust atau ketidakpercayaan pasar.
“Banyak yang kasihan kenapa SMI mau mengemban tugas yang amat berat. Nanti soal CAD ke Bu SMI, nanti soal neraca dagang dan rupiah ke Bu SMI. Padahal fungsi utamanya kan menjaga APBN agar efektif,” tandasnya.
Presiden Tersandera
Menurut dia, komposisi kabinet jauh dari ekspektasi pelaku usaha dan investor sebab terlalu banyak politisi yang menduduki jabatan strategis bidang ekonomi. Padahal yang dibutuhkan adalah profesional sehingga antisipasi resesi global bisa lebih optimal.
“Pak Jokowi tersandera koalisi gemuk,” ujar dia.
Dampaknya, jelas dia, menyebabkan kredibilitas tim ekonomi otomatis menurun. Sebab yang diharapkan untuk menangani persoalan perekonomain nantinya hanya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Saya kasihan dengan tugas berat Bu Sri Mulyani karena sendirian sebagai profesional, dikepung parpol,” ungkap dia.
Fokus Terpecah
Selain kredibilitas, lanjut dia, biasanya menteri titipan parpol juga beresiko terpecah fokusnya menjelang pemilu 2024. Kemungkinan menteri titipan parpol, bekerja efektif hanya sampai tahun 2022, setelah itu memikirkan pemenangan partainya di pemilu berikutnya.
Karena itu, ucap dia, investasi yang mau masuk akhirnya berpikir ulang karena ada masalah kredibilitas dan kebijakan yang dibuat nantinya lebih ditumpangi kepentingan politis.
Tantangan Global
Secara terpisah, Dosen Program Studi Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Agus Heruarto Hadna mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat mengkhawatirkan. Karenanya langkah-langkah antisipasi mutlak diperlukan agar mampu menghadapi berbagai kendala yang menghadang di depan.
“Aspek pertama adalah ekonomi. Luar biasa tantangan kita. Dimasa depan kita tidak lagi mengandalkan sumber daya alam (SDA), sebab semua SDA akan berkurang. Jadi mau tidak mau keunggulan komparatif yang menjadi keunggulan kita dan harus ditingkatkan, adalah keunggulan kompetitif,” jelas dia.
Keunggulan kompetitif itu adalah pengusaaan teknologi tinggi melalui digitalisasi. Dan industri digital di Indonesia menjadi pasar besar yang menjadi potensi melimpah yang harus dioptimalkan. Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara di Asia yang berpeluang terhadap pasar digital.
“Teknologi digital bersifat populis sehingga sangat mungkin untuk dioptimalkan. Sementara itu, selama periode pertama Jokowi hanya menghasilkan 1 teknologi Gesit atau motor listrik. Padahal anggarannya mencapai sekitar Rp26 triliun. Jadi penguasaan teknologi di Indonesia, bermasalah, dan riset belum menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia,” tegas Hadna.
Aspek kedua, kata dia, adalah perekonomian dunia ke depan yang sangat tidak pasti atau uncertainty.
Dan ketidakpastian itulah yang pasti. Dengan demikian, kondisi ini harus direspon segera, utamanya melalui digitalisasi untuk menopang ekonomi Indonesia. Jadi tantangan ke depan adalah soal ketidakpastian dalam kancah globalisasi, menjadi penting untuk diperhatikan serius
“Pemerintah harus bisa mengembangkan kebijakan perekonomian yang inovatif dengan berbagai terobosan atau breakthrough. Maksud saya, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak boleh dipandang sebagai business as usual, harus ada terobosan besar. Dan saya ragu dengan susunan kabinet baru saat ini,” tandas Hadna lagi.