Mewujudkan Perdamaian Bak Melempar Kerikil ke Telaga
Mewujudkan perdamaian itu ibarat melempar kerikil ke telaga. Apapun pengaruhnya yang diharapkan harus diawali dari KEHENDAK BAIK
Editor: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, VATIKAN - Mewujudkan perdamaian itu ibarat melempar kerikil ke telaga. Apapun pengaruhnya yang diharapkan harus diawali dari KEHENDAK BAIK pelempar kerikil. Kehendak baik itu berujud kekuatan kasih, persaudaraan, persahabatan, dan berpikir positif. Semua faktor kehendak baik itu akan menjadi dasar untuk bertahan dan akan menang terhadap kekuatan-kekuatan desktruktif, termasuk paham radikalisme. Bangsa Indonesia harus mengembangkan KEHENDAK BAIK agar pluralisme atau keberagaman menjadi kekuatan membangun dunia yang damai.
Demikian dikemukakan Markus Solo Kewuta SVD atau Padre Marco, dari Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama saat ditemui AM Putut Prabantoro, Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) yang juga Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI di Kantor Dewan Kepausan Vatikan, Rabu (16/10/2019).
“Kita harus memiliki kehendak yang baik, kita percaya sesuatu yang baik itu cepat menjalar daripada keburukan. Seperti melemparkan batu kecil atau kerikil di telaga. Meski kecil ketika kerikil jatuh di telaga dia akan membentuk lingkaran gelombang, dari kecil dan lama-lama akan meluas-meluas. Kita harus gunakan falsafah ini untuk menyebarluaskan kebaikan,” jelas Padre Marco.
Menurut pejabat Vatikan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan yang deras sekali dari berbagai arah dan kadang-kadang sangat mengkhawatirkan. Ia merasa prihatin dan tidak tenang jika mengikuti berita-berita dari berbagai media massa di tanah air. Namun, meski demikian masih banyak orang dari berbagai agama, budaya, etnik, yang masih bisa bekerja sama dan bersahabat dan berpikir positif daripada mereka yang berpikiran lain tersebut.
Yang menjadi masalah, lanjut Padre Marco, walaupun gerakan-gerakan yang berpikiran lain itu kecil atau menempati posisi yang lebih sempit, gaung gerakan mereka itu secara psikologis sangat dominan, membuat orang takut dan bahkan membuat orang putus asa.
“Nah, untuk menghadapi hal ini kita seharusnya lebih dulu menaruh perhatian pada kekuatan kebajikan yang ingin kita perjuangkan bersama. Belajar dari tradisi-tradisi baik yang ada kita selalu diajarkan dan ditanamkan di dalam hati kita, perilaku kita, tutur kata kita bahwa yang baik-baik itu pasti akan lebih bertahan dan akan menang,” ujarnya.
Lebih jauh Padre Marco mengapresiasi dan mendukung kiprah Putut Prabantoro yang konsisten dan berkelanjutan menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, keutuhan NKRI, demi Indonesia Satu Tak Terbagi.
Menurut dia, apa yang dilakukan Putut Prabantoro yang juga Ketua Presidium Bidang Politik ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) ini, sangat baik mengingat intoleransi terus berkembang dan sudah sangat mengkhawatirkan bahkan telah merasuki institusi pertahanan dan keamanan.
“Mereka yang seharusnya melindungi kita, menjaga keamanan, yang sudah bersumpah untuk menjaga kesatuan NKRI malah masuk dalam kelompok orang yang berpikiran lain dan terpapar paham radikalisme dan bersikap intoleransi,” katanya.
Demikian pula harapan yang sama ia tujukan kepada media. Ia meminta media untuk selalu menjaga persahabatan dan relasi yang baik, menyebarkan berita dan hal -hal yang baik, menperluas jaringan persahabatan kemana-mana.
DOKUMEN ABU DHABI
Dalam kesempatan itu, Padre Marco mengingatkan akan semangat Dokumen atau Deklarasi Abu Dhabi yang ditandatangani bersama antara Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Ahmad Al Thayyeb pada Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, yang mendekatkan sisi-sisi kemanusiaan dari kehidupan dalam masyakarat yang plural.
Deklarasi Abu Dhabi tentang Perdamaian itu berjudul “Documento Sulla – FRATELLANZA UMANA Per Pace Mondiale E La Convivenza Comune” atau “Sebuah Dokumen tentang– Persaudaraan Umat Manusia Untuk Perdamaian dan Hidup Bersama”. Dokumen yang bersejarah ini diterjemahkan dalam 7 bahasa termasuk Inggris, Arab, Jerman, dan Italia.
Menurut Padre Marco, Deklarasi Abu Dhabi merupakan sebuah dokumen yang memiliki makna propetis atau kenabian. Artinya, deklarasi ini memuat hal-hal yang merupakan batu sandungan di dalam perjalanan umat manusia menuju masyarakat yang damai, adil dan makmur secara kasat mata.
“Bantu sandungan itu dimuat secara sangat jelas atau nyata meskipun terasa sangat menyakitkan tetapi sekaligus ingin mengingatkan kepada umat manusia justru itulah masalah-masalah yang harus ditelusuri bersama secara jujur dan dicari makna dan solusinya secara bersama-sama pula,” ujar Padre Marco.
Ditambahkannya, “Kita harus bekerja sama mendorong dan memajukan budaya persabatan, budaya pertemanan, budaya dialog, dan budaya perdamaian. Semua itu harus menjadi budaya. Sesuatu menjadi budaya kalau dilakukan secara teruus menerus. Ini yang diharapkan dari setiap masyarakat Indonesia. Tanpa hal itu intoleransi akan bertambah besar dan orang akan semakin takut hidup berbangsa dan bernegara.”