Kepala BNPT: Tampilan Fisik Tidak Bisa Mencirikan Seseorang Terpapar Radikalisme
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan seseorang yang terpapar radikalisme tidak bisa dilihat dari tampilan
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan seseorang yang terpapar radikalisme tidak bisa dilihat dari tampilan fisik.
Hal tersebut dikatakan Suhardi Alius saat memenuhi undangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan pemahaman tentang isu-isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
"Tadi sudah saya sampaikan, teman-teman jurnalis juga ikut, bahwa tampilan fisik tidak bisa mencirikan seseorang terpapar radikalisme, tapi masalah pemikiran, dan masalah ideologi," kata Suhardi Alius di gedung penunjang KPK, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019).
Baca: KPK Undang BNPT Jelaskan Soal Radikalisme Kepada Pegawainya, Cara Berpakaian Jadi Sorotan
Menurut Suhardi Alius, di jaman globalisasi saat ini kita tidak bisa melakukan stigmatisasi terhadap seseorang berdasarkan tampilan fisik.
Perihal radikalisme sendiri, menurut Suhardi ada lima indikator seseorang telah terpapar.
Di antaranya menyuburkan sikap intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI, penyebaran paham Takfiri, dan menyebabkan disintegrasi bangsa.
Baca: Pegiat Antikorupsi Nilai Vonis Bebas Sofyan Basir Ada Kaitan Dengan Berlakunya UU KPK Hasil Revisi
"Poinnya adalah penyimpangan, indikatornya antara lain suka menyendiri, membuat kelompok ekslusif, hingga tahap jihadis. Tidak bisa stigmatisasi pada pakaian, dan (indikator ini) perlu disikapi secara hati-hati," ujarnya.
Menurutnya, tempat-tempat seperti rumah ibadah, lembaga pendidikan, friendship atau teman, dan media internet merupakan lahan subur berkembangnya radikalisme.
Baca: Johan Budi Cukup Aktif Nyalakan Mikrofon Saat RDP Komisi II DPR Dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri
Sehingga, berpakaian menurutnya hanyalah masalah kultur sementara radikalisme merupakan ideologi.
"(Berpakaian itu) masalah kultur, masalah budaya, kalau soal pakaian tuh masalah kultur aja. Artinya kita jangan menjudge manusia dari tampilan fisik, tapi (radikalisme) ini mindset," kata Suhardi.
Soroti soal pakaian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memberikan pemaparan soal paham radikalisme kepada semua staff dan struktural.
"Kami mengundang Kepala BNPT Suhardi Alius untuk lebih memahami apa itu radikalisme, apa itu terorisme, tadi sudah dijelaskan semua oleh beliau. Jadi kami mengundang semua staff, semua struktural, untuk hadir dalam acara ini," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo usai acara di gedung penunjang KPK, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019).
Ketua KPK berharap, dengan mendapat materi Resonansi Kebangsaan dan Bahaya serta Pencegahan Radikalisme yang dibawakan oleh ketua BNPT, jajarannya bisa lebih memahami dan melakukan langkah preventif dalam penanggulangan radikalisme.
Baca: Catatan Pakar Hukum Bagi KPK Sebelum Ajukan Kasasi Atas Vonis Bebas Sofyan Basir
"Kami berharap, mudah-mudahan dengan begitu kita lebih memahami (radikalisme) dan bisa lebih mencegah ke depannya," ujarnya.
Selain itu, yang disoroti Agus dalam acara ini merupakan klasifikasi orang yang terpapar radikalisme yang dalam prosesnya memiliki lima tahapan.
Salah satu yang penting menurutnya ialah cara berpakaian jajaran KPK sebagai penegak hukum.
"Seperti cara berpakaian, khususnya cara berpakaian penegak hukum, itu kan penting supaya kita kelihatan independen, imparsial, tidak distigma kita itu apa, itu kan penting sebagai penegak hukum," kata Agus.
Baca: Respons ICW Sikapi Vonis Bebas Terhadap Mantan Dirut PLN Sofyan Basir
Kembali, dia menegaskan cara berpakaian penegak hukum sangat penting terutama dalam menunjukkan profesionalitas.
Alasannya, sempat beredar rumor yang menyebut sejumlah anggota lembaga antikorupsi itu merupakan bagian dari Taliban.
Baca: Sofyan Basir Langsung Pulang ke Rumah Setelah Keluar dari Rutan KPK
"Ya itu tadi, kan kita nanya tadi apa karena berpakaian itu kita bisa dikategorikan Taliban. Tapi sebagai penegak hukum penting sekali kemudian cara berpakaian supaya menunjukkan tadi, imparsial, independen, profesional itu penting," kata Agus Rahardjo.