Pengamat: Jokowi Harus Tunggu Putusan MK
I Made Leo menilai Presiden Jokowi harusnya konsisten dan konsekuan menghormati dan menunggu hasil uji materi Undang-undang (UU) KPK
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratma mengkritik sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan seleksi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
I Made Leo menilai Presiden Jokowi harusnya konsisten dan konsekuan menghormati dan menunggu hasil uji materi Undang-undang (UU) KPK hasil revisi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya Pesiden Jokowi berasalan belum menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), karena masih berjalan uji materi di MK.
"Ya harus konsisten dan konsekuen untuk tidak memilih anggota Dewan Pengawas KPK. Nah, kalau sudah mulai melakukan seleksi anggota Dewan Pengawas KPK berarti mencla-mencle," ujar I Made Leo kepada Tribunnews.com, Rabu (6/11/2019).
Baca: Pembentukan Dewan Pengawas KPK, ICW: Presiden Tak Paham Bagaimana Memperkuat KPK
Apalagi kata dia, MK belum tentu setuju dengan adanya Dewan Pengawas KPK.
Selain itu dia menyarankan Presiden Jokowi tidak melakukan seleksi Dewan Pengawas karena uraian jabatannya pun masih belum pasti.
"Apakah seperti hasil revisi atau sesuai putusan MK. Saya sih berharap MK mengoreksi UU KPK dengan menghilangkan wewenang Dewan Pengawas untuk memberi atau menolak ijin penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan lainnya. Dengan demikian, anggota Dewan Pengawas cukup berbekal pengetahuan tentang SOP, etik, dan pelanggaran hukum," jelasnya.
Istana Sebut Penunjukkan Dewan Pengawas KPK Tak Perlu Tunggu Putusan MK
Jokowi telah melakukan seleksi lima anggota Dewan Pengawas KPK.
Dalam penunjukan Dewan Pengawas nantinya, Jokowi pun tidak perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang memproses sidang uji materi Undang-Undang KPK hasil revisi.
"Yang penting sudah berlaku (UU KPK) pada 17 Oktober. Jadi tidak perlu menunggu (putusan uji materi di MK)," papar Fadjroel di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurutnya, jika nantinya hakim MK membatalkan Undang-Undang MK hasil revisi, maka Presiden Jokowi pasti menghormatinya dengan turut membatalkan penunjukan dewan pengawas.
"Kalau nanti ada perubahan karena ada judicial di MK, presiden juga mengatakan pemerintah mengambil sikap. Jadi tidak masalah kalau ada perubahan, tinggal disesuaikan saja," paparnya.
Diketahui, Hakim MK telah menggelar sidang pengujian Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Baca: Dewan Pengawas KPK Ditunjuk Langsung Oleh Jokowi, Benarkah Ahok dan Antasari Azhar Jadi Kandidat?
Agenda sidang perbaikan permohonan perkara diregistrasi Nomor 57/PUU-XVII/2019. Para pemohon berjumlah 190 orang, mayoritas dari mereka masih berstatus mahasiswa.
Seperti dilansir laman MK pada Selasa (22/10/2019) ini, para pemohon memperbaiki alasan mengajukan permohonan terkait eksistensi dewan pengawas KPK. Mereka menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sesuai nasihat hakim di sidang pendahuluan.
Para pemohon menjelaskan dewan pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Menurut pemohon, pembentukan dewan pengawas dalam struktur KPK dilakukan pembentuk undang-undang sebagai upaya pengawasan KPK sehingga lembaga itu tak memiliki kewenangan absolut.
Keberadaan dewan pengawas yang diatur UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Kewenangan pengawas KPK telah melampaui batas pengawasan oleh karena dewan pengawas memiliki kewenangan ijin terhadap penyadapan, penggeledahan dan penyitaan sehingga hal ini di luar batas sistemik pengawasan karena dewan pengawas bukan aparatur penegak hukum.
Selain itu, para pemohon mempertegas permohonan Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945.
Kemudian, terkait kerugian konstitusional, para Pemohon memasukkan uraian mengenai kerugian konstitusional antar generasi dan kerugian secara kolektif serta kerugian konstitusional individual. Selain itu, Para Pemohon merubah petitum permohonan.