Cerita Meutya Hafid Saat Disandera di Irak: Sempat Terpikir Mati dan Ingat Almarhum Ayah
Ketua Komisi I DPR RI tersebut mengingat jelas mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah pom bensin saat menuju Baghdad.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak jurnalis yang menjadi korban dan disandera ketika meliput di daerah rawan konflik. Hal itu pernah dirasakan oleh Meutya Viada Hafid pada tahun 2005 silam.
Mendapat penugasan ke Irak untuk meliput pemilu pertama pasca Saddam Husein terguling, Meutya bersama rekannya justru disandera oleh kelompok bersenjata.
Ketua Komisi I DPR RI tersebut mengingat jelas mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah pom bensin saat menuju Baghdad.
Tiba-tiba sekelompok pria bersenjata laras panjang mendatangi dan mengambil alih mobil tersebut.
Meutya bercerita kedua matanya ditutup menggunakan kain. Lehernya bersinggungan dengan senjata api. Ya, senjata tersebut ditodongkan kepadanya.
Meski matanya diselimuti kegelapan, perempuan berusia 41 tahun tersebut berusaha mengingat jalan yang dilalui. Mulai dari belok kiri, kanan dan seterusnya. Dua jam berlalu dan Meutya tak bisa mengingat lagi jalan yang dilewatinya.
Saat penutup matanya dibuka, sepanjang mata memandang Meutya hanya menyaksikan gurun pasir. Seketika itu pula dia berpikir, "Oh ini saya diculik."
Dalam wawancara khusus bersama Tribunnews.com, politikus Golkar tersebut mengatakan mati sempat terlintas dalam pikirannya saat disandera.
Saat itu, Meutya juga mengaku teringat almarhum ayahnya. Ia merasa penyanderaan itu adalah tanda dirinya akan dipanggil oleh ayahnya untuk menyusul ke alam sana.
"Pikiran pertama sih mati ya. Ingat almarhum ayah. Jangan-jangan dipanggil nih sama ayah suruh nyusul," ujar Meutya, kepada Tribunnews.com di Ruang Tunggu VIP Komisi I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019).
"Kaki rasanya nggak menginjak tanah," imbuhnya, seraya menunjukkan gestur bahwa kakinya terasa lemas saat berada di situasi tersebut.
Terlintasnya pikiran itu bukan tanpa sebab. Perempuan kelahiran Bandung tersebut melihat para pria yang menyanderanya memiliki postur tubuh yang besar.
Selain itu, berada di gurun pasir dan tidak memiliki senjata juga menjadi kendala tersendiri. Melawan mereka dan lari, bukanlah opsi yang tepat menurut Meutya.
"Pertama mereka besar-besar secara postur tubuh dan berbeda jauh, saya tidak terlalu besar. Mereka punya senjata laras panjang, membawa kita ke gurun, dimana kalau kita nggak punya senjata kita juga nggak bisa lari. Karena kita juga nggak tahu (berada dimana), melawan juga nggak bisa," kata dia.
Melihat situasi dan kondisi yang tak menguntungkan dirinya, Meutya pun berusaha ikhlas. Namun ia merasakan lebih tenang pasca mencoba untuk ikhlas menerima kondisinya kala itu.
"Waktu itu mikirnya sudahlah, ikhlas. Ikhlas karena nggak bisa melawan, bukan karena soleha juga. Mau gimana lagi? Jadi ikhlas saja. Tapi ketika sudah berhasil ikhlas, saya justru jadi lebih tenang," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.