Data BNPT Tunjukkan Tingkat Pendidikan Pengaruhi Aksi Teror yang Terjadi di Indonesia
Data dari BNPT menunjukkan tingkat pendidikan mempengaruhi aksi terorisme, lingkungan kampus juga menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya radikalisme.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Daryono
![Data BNPT Tunjukkan Tingkat Pendidikan Pengaruhi Aksi Teror yang Terjadi di Indonesia](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/bnpt.jpg)
TRIBUNNEWS.COM - Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tingkat pendidikan mempengaruhi aksi teror yang terjadi di Indonesia.
Rata-rata tingkat pendidikan pelaku aksi teror menurut BNPT pada 2017, yakni :
- Berpendidikan SMA = 63,3 persen
- Perguruan Tinggi = 16,4 persen
- Tidak lulus Perguruan Tinggi = 5,5 persen
- SD = 3,6 persen
Lingkungan kampus pun juga mempengaruhi berkembangnya paham radikalisme.
![data BNPT 2017](https://cdn2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/data-bnpt-2017.jpg)
Sebab, lingkungan kampus di anggap menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya paham radikalisme.
Tim Narasi Mata Najwa melakukan penelusuran dan menemukan kesimpulan terkait mahasiswa yang mudah terpapar radikalisme.
1. Mahasiswa yang secara faktor ekonomi kekurangan.
2. Mahasiswa yang senang mengikuti kajian-kajian islam radikal di kampus.
3. Mahasiswa yang sedang mencari jati dirinya.
4. Mahasiswa yang hidup dan tinggal di indekos yang jauh dari pengawasan orang tua.
Media Sosial Jadi Penyebab Anak Muda Terpapar Radikalisme
Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengungkapkan, media sosial menjadi penyebab utama kalangan anak muda mudah terpapar radikalisme.
Berbeda dengan kelompok radikalisme zaman dulu yang merekrut calon terorisme secara tatap muka.
Kelompok perekrut terorisme masa kini akan menyebarkan konten-kontennya di internet secara acak.
Ketika ada anak yang tertarik dengan konten radikalisme tersebut, perekrut akan menghubungi calon teroris.
Stanislaus pun menyayangkan pihak pemerintah yang tidak menindaklanjuti dengan tegas hal tersebut.
"Saya heran, kenapa tidak ada langkah yang spesifik untuk melakukan blokir terhadap konten-konten tersebut (radikalisme), kita akan blokir satu sekarang akan muncul seribu," ungkap Stanislaus Riyanta dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).
Selain itu kurangnya pengawasan dari orangtua juga menjadi faktor anak muda terkena radikalisme.
Biasanya orangtua yang menganggap anaknya terlihat baik-baik saja, akan kaget saat mengetahui anaknya terlibat aksi terorisme.
Stanislaus memberikan contoh, pelaku pengeboman di Gereja Katolik Medan, Sumatera Utara (28/8/2019) yakni pelajar yang mempunyai masalah di sekolahnya.
Kemudian pelaku mencari di internet mengenai cara membuat bom.
Pelaku memang tidak bergabung dengan kelompok manapun, pelaku ini kan menjadi pelaku yang merencanakan sendiri dan melakukan aksinya sendiri.
Hal itu justru yag sangat berbahaya, karena tidak dapat terdeteksi.
![Mata Najwa: Bom Bunuh Diri, Kenapa Lagi?](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/mata-najwa-13112019.jpg)
Mendukung pendapat Stanislaus, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali mengatakan, ketidakpedulian terhadap paham radikalisme juga menjadi penyebab kalangan anak muda rentan terpapar radikalisme.
"Kepala sekolah tidak peduli, orang tua siswa juga tidak peduli, jadi ynag masuk adalah perekrut," kata Abdul.
Menurutnya, ada tiga pintu masuk di sekolah yang digunakan para perekrut teroris, yakni melalui guru, kepala sekolah yang biasanya berupa kebijakan, dan lewat alumni.
Alumni mempunyai peran besar dalam memasukkan paham radikalisme di sekolah.
Mereka bisa intervensi lewat organisasi sekolah, OSIS ataupun ROHIS.
"ROHIS pada saat mencari penceramah biasanya akan melalui alumni-alumni, alumni-alumni yang dianggap punya pemahaman agama yang bagus itu rujukannya," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.