Selain Tolak Ahok Masuk BUMN, Rizal Ramli Kerap Beri Kritikan Pedas, Pernah Sebut Data Jokowi Ngawur
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli, memberikan pernyataan penolakan Basuki Tajahaja Purnama alias Ahok menjadi bos BUMN.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli, memberikan pernyataan berupa penolakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi bos BUMN.
Rizal Ramli menilai Ahok tidak biasa dengan good governance dan tidak memiliki cooperate experience atau pengamalan cooperate yang baik.
Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi narasumber dalam program Apa Kabar Indonesia Malam yang diunggah di YouTube Talk Show tvOne, Sabtu (16/11/2019).
Menurutnya, banyak sosok lain yang lebih bagus dari Ahok.
Rizal Ramli juga menyebut Ahok hanya memiliki modal keributan.
"Padahal masih banyak anak-anak muda yang punya pengalaman eksekutif yang bagus termasuk temen-temen Tionghoa banyak yang bagus-bagus ya kan."
"Itu akan memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar daripada Ahok yang modalnya keributan doang," ujarnya.
Ia juga menyebutkan posisi yang lebih pantas dijabat Ahok.
"Seperti saya katakan kalau Mas Ahok itu paling ideal jadi Presiden Direktur dari Podomoro, gitu aja kok repot," ujar Rizal Ramli sambil tertawa.
Selain pernyataan penolakan terhadap Ahok, berikut beragam kritikan Rizal Ramli.
Sebut Data Jokowi Ngawur
Rizal Ramli angkat bicara terkait data dan angka yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato kebangsaan yang dianggapnya tak sesuai.
Melansir pemberitaan Kompas.com, 25 Februari 2019, data yang dimaksud adalah data yang disampaikan dalam debat calon presiden maupun pidato politik calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo di Sentul International Convention Center, Bogor, Minggu (24/2/2019).
"Debat kedua ternyata banyak sekali data, angka yang ngasal, ngawur, dan cenderung hoaks," ungkapnya.
Rizal Ramli mengaku heran terhadap data yang disampaikan Jokowi.
"Kok bisa ya Presiden bicara seperti itu? Dan banyak dikritik media masa setelah itu," ujarnya.
Kesalahan serupa juga dikatakan Rizal Ramli dilakukan Jokowu saat berpidato politiknya di Sentul.
Ia mengungkapkan penyataan Jokowi terkait data dan angka capai kerja yang sudah diraih juga keliru.
"Dan enggak berubah pidatonya di Sentul. Itulah kenapa saya ingin menyampaikan catatan, terhadap pidato Presiden Joko Widodo," tambahnya.
Sebut KPK Kehilangan Taring jika Dipimpin Polisi
Rizal Ramli pernah menyinggung banyaknya calon pimpinan KPK periode 2019-2023 berasal dari kepolisian.
Dikutip dari Kompas.com, Rizal Ramli khawatir jika menjadi pimpinan KPK periode mendatang tidak mampu menangani kasus-kasus besar itu yang belum terselesaikan.
"Kepemimpinan KPK saat ini kan sebentar lagi, mohon agar supaya kasus-kasus yang besar yang udah tahunan dibukalah terang-benderang, ya. Kasus BLBI, kasus Century, kasus apa gitu," ungkap Rizal, 19 Juli 2019.
Rizal Ramli juga mengungkapkan satu alasan didirikannya KPK karena polisi dipandang kurang mampu menangani kasus.
"Dulu KPK dibikin karena polisi kurang mampu menangani kasus-kasus korupsi besar tetapi kalau nanti pimpinan yang baru banyak polisi itu namanya coup de grace."
"Pelan-pelan KPK akan berubah peranan dan fungsinya, jangan sampai itu terjadi," ungkapnya.
Sebut Pemerintahan Jokowi Ikuti China
Kritik Rizal Ramli kepada pemerintahan Jokowi kembali disampaikan.
Ia menilai Pemerintahan Indonesia di tangan Jokowi terlalu mengikuti China.
Melansir Surya, ia mengatakan berdasar undang-undang, Indonesia ini harusnya berada di tengah dan tidak memihak siapapun.
"Kita harus berada di tengah. Tidak boleh menjadi antek Amerika atau pun antek China," jelasnya seusai menjenguk Ahmad Dhani di Rutan Medaeng, 30 Maret 2019.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara hebat dan negara yang besar dan seharusnya bebas aktif.
"Tapi selama pemerintahan Jokowi, makin lama makin mengikuti keinginan China. Dan itu tidak bagus. Apalagi khususnya soal lapangan pekerjaan," tambahnya.
Ia melihat banyak tenaga kerja dari China yang bekerja di sini, sedangkan rakyat Indonesia sendiri ingin bekerja.
Bahkan dirinya berani menyandingkan negara Indonesia dengan negara tetangga yaitu Malaysia.
"Kenapa tidak berani kayak Malaysia. Malaysia bernegosiasi dengan China. Investasi boleh namun untuk tenaga kerja dari negara China dibatasi maksimum hanya 10 persen dan itu tenaga ahli," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang Putranto) (Kompas.com/Murti Ali Lingga/Dylan Aprialdo Rachman) (Surya.co.id/Kukuh Kurniawan)