Pengesahan UU KPK Tidak Sesuai Kuorum Merupakan Opini Menyesatkan
Dia menjelaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Arteria Dahlan, kuasa hukum DPR RI pada uji materi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menilai pemohon uji materi Undang-Undang KPK hasil revisi, telah membentuk opini menyesatkan di publik.
"Opini para pemohon yang menyatakan pembahasan UU KPK perubahan kedua dilakukan secara tersembunyi, dibahas dalam rapat-rapat tertutup, dalam kurun waktu yang relatif singkat adalah opini yang menyesatkan, opini yang keliru, opini tidak sesuai fakta sebenarnya," kata Arteria, saat sidang uji materi UU KPK hasil revisi di ruang sidang lantai 2 Gedung MK, Selasa (19/11/2019).
Dia menjelaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019. RUU itu telah termuat di daftar prolegnas 2015-2019.
Baca: Uji Materi UU KPK, MK Minta DPR Serahkan Risalah dan Rekaman Visual Rapat
Oleh karena itu, kata dia, pengajuan RUU a quo di luar prolegnas yang telah disetujui badan legislasi (baleg) yang kemudian disetujui bersama antara DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM adalah sah secara hukum.
"Opini para pemohon yang menyatakan revisi UU KPK dilaksanakan tanpa melalui prolegnas prioritas tahun 2019 dan tidak ada kejadian luar biasa atau konflik bencana alam dan juga dalam keadaan tertentu adalah opini yang keliru dan tidak sesuai fakta yang sebenarnya," kata dia.
Selama pembahasan RUU KPK, kata dia, proses pembahasan telah dilakukan secara terbuka, transparan melibatkan berbagai pihak, dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca: Keberadaan Dewan Pengawas Tidak Melemahkan KPK
Sementara itu, terkait permohonan mengenai kuorum dalam rapat paripurna pengambilan keputusan pengesahan RUU aquo di DPR RI, dia menerangkan dan rapat paripurna pengambilan keputusan RUU KPK perubahan kedua telah memenuhi kuorum.
"Dilaksanakan 17 September, 289 anggota dari 560 anggota. Opini para pemohon yang menyatakan jumlah anggota DPR RI yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah anggota DPR RI adalah opini yang keliru, opini yang menyesatkan dan tidak sesuai fakta yang sebenarnya," tambahnya.
Sebelumnya, hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi
Perkara yang disidangkan yaitu perkara 59/PUU-XVII/2019 yang diajukan Sholikhah, S.H., Agus Cholik, S.H., Wiwin Taswin, S.H., dkk.
Perkara ini sudah melalui tahapan pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan. Sidang pada Selasa ini mendengarkan keterangan dari pihak DPR RI dan pemerintah.
Para pemohon, sebanyak 22 orang advokat mengajukan uji (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wiwin Taswin, selaku salah satu pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945.
Menurut para pemohon, pengesahan UU KPK oleh DPR tidak sesuai semangat Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelekanggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sama sekali tak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.
Baca: Putra Yasonna Laoly Penuhi Panggilan KPK, Diperiksa sebagai Saksi Dugaan Kasus Suap
Oleh karena itu, kata dia, perubahan UU KPK tersebut tidak sesuai upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, para pemohon menilai perubahan UU KPK mengalami cacat formil dalam pembentukan dan pengambilan keputusan oleh DPR dalam pembentukan tidak memenuhi syarat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.