Parpol Kompak Tolak Usulan Presiden 3 Periode, Yunarto Wijaya: Jokowi Harus Bersuara Keras Soal ini
Sejumlah Parpol secara kompak menolak wacana perpanjang masa jabatan presiden, Yunarto mengatakan Jokowi harus angkat bicara terkait isu itu.
Penulis: Isnaya Helmi Rahma
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Wacana amandemen UUD 1945 terkait tentang masa jabatan Presiden menjadi tiga periode masih bergulir di tengah masyarakat.
Sejumlah Partai Politik (Parpol) secara kompak menolak wacana perpanjang masa jabatan yang datangnya entah dari mana ini.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya turut menyoroti isu tersebut.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus angkat bicara terkait isu tersebut.
Ia juga menilai wacana amandemen uud 1945 jadi ujian bagi Jokowi.
"Buat saya disinilah tantangan utama, Jokowi yang harus kemudian memutus mata rantai kemungkinan adanya isu -isu tersebut," ujarnya yang dilansir dari kanal YouTube Kompas TV (24/11/2019).
Yunarto mengkhawatirkan isu ini berasal merupakan jilatan - jilatan dari pihak yang ingin kembali berkuasa atau pihak bagian dari kekuasaan.
Sehingga sudah seharusnya Presiden RI ini untuk ikut angkat bicara dan meluruskan terkait wacana amandemen UUD 1945.
Yunarto menyebut Jokowi yang besar dari alam demokrasi pasti menghargai terkait pembatasan periode kepemimpinan.
"Jokowi yang besar dari pilkada langsung, Jokowi yang besar dari alam demokrasi, yang pasti sangat menghormati pembatasan periode kepemimpinan," ujar Yunarto
"Sehingga saya pikir harusnya Jokowi bersuara keras terhadap hal ini jadi proses yang coba diupayakan oleh siapapun itu di DPR bisa kemudian langsung dipotong," imbuhnya.
Di sisi lain, penolakan terhadap pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden mendapatkan penolakan dari partai pengusung Jokowi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dengan tegas menolak usulan masa kepemimpinan presiden menjadi tiga periode.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah menilai masa jabatan dua periode sudah cukup.
Sehingga penambahan masa jabatan dinilai tidak ada urgensinya.
"Masa jabatan presiden satu periode atau lima tahun kali dua itu sudah cukup untuk sebuah pemerintahan nasional," ujarnya.
"Kami memandang tidak ada urgensinya untuk mengubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan presiden," imbuhnya.
Ahmad Basarah mengatakan saat ini yang dibutuhkan adalah dihidupkan kembali Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terkait pergantian visi - misi atau program pada setiap pemilihan presiden yang baru tidak ada lagi.
Karena kalau GBHN dimunculkan kembali akan memastikan adanya pembangunan nasional yang berjalan dengan berkesinambungan.
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga turut melantangkan suaranya untuk menolak wacana amandemen UUD 1945.
Juru Bicara PKS, M Kholid mengatakan adanya penambahan masa jabatan presiden ini akan sangat membahayakan semangat reformasi.
Kholid menilai masa jabatan dua tahun sudah tepat.
"Jangan sampai ada penambahan masa jabatan yang panjang, wah itu bahaya," ujar Kholid
"Justru semangat reformasi adalah kita membatasi kekuasaan itu kan, 2 periode kan," imbuhnya.
Kholid mengaku PKS akan tetap menjaga semangat reformasi dan akan selalu pro dengan demokrasi.
Jadi menurutnya tak perlu ada perubahan masa kepemimpinan untuk presiden dan wakil presiden.
Partai Gerindra juga ikut menyoroti wacana yang telah berkembang di publik ini.
Ketua Fraksi Gerindra di MPR, Ahmad Riza menilai masa jabatan dua tahun seperti saat ini sudah sangat ideal tidak perlu ada perubahan lai.
Karena menurutnya menjabat selama 10 tahun sudah sangat pas untuk presiden dan wakil presiden.
Diketahui pembatasan masa jabatan presiden selama 2 periode yaitu setiap peridoe lima tahun yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hasil amendeman pasca tumbangnya orde baru. (*)
(Tribunnews.com/Isnaya Helmi Rahma)