Komisi V DPR Raker dengan Menhub, Bahas Laporan Akhir Investigasi Kecelakaan Pesawat Lion Air PK-LQP
Komisi V DPR RI menggelar rapat kerja bersama Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi V DPR RI menggelar rapat kerja bersama Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi.
Agenda digelar di Ruang Rapat Komisi V DPR, Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Rapat dimulai sekira pukul 10.30 WIB dan dipimpin Ketua Komisi V DPR fraksi PDI Perjuangan Lasarus.
Membuka rapat Lasarus menjelaskan agenda rapat hari ini.
"Sebagaimana undangan rapat kerja hari ini membahas laporan akhir KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) mengenai kecelakaan pesawat Lion air PK-LQP," kata Lasarus.
"Pada tanggal 29 Oktober dunia pesawat kembali berduka, pesawat Lion air rute penerbangan Bandara Soekarno Hatta tujuan Bandara Depati Amir mengalami musibah di perairan Karawang. Kami ingin mendengar penjelasan lebih lengkap dari Kementerian Perhubungan dan stakeholder lainnya terhadap penyebab kecelakaan," imbuhnya.
Selain dihadiri oleh Menhub Budi, dalam rapat hari ini juga dihadiri oleh Ketua KNKT Soejanto Tjahjono, beberapa petinggi perusahaan penerbangan nasional, dan perwakilan dari PT Pertamina.
Hingga berita ini diturunkan, rapat masih berlangsung.
Sebelumnya, Pesawat Lion Air PK-LQP terjatuh di Laut Jawa sebelah utara Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018.
Pesawat ini diterbangkan oleh Pilot Bhavye Suneja dan kopilot Harvino dengan nomor penerbangan JT 610 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.
Sebanyak 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, 5 kru dinyatakan meninggal dunia.
Pada 25 Oktober 2019, KNKT merilis hasil investigasi terkait faktor kontribusi jatuhnya Lion Air PK-LQP.
Disebutkan, ada 9 faktor yang berkontribusi terhadap tragedi itu. Ini 9 faktor tersebut:
1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan pilot ataupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
9. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antarpilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antarpilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.