Bilal Rehman: Negara Harus Membuat Komisi Ganti Rugi
Ditemui dikantor Law firm Bilal Rehman Fachrudin & Associates di Kemayoran Jakarta Pusat, Senin (25/11/2019) petang
Editor: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ditemui dikantor Law firm Bilal Rehman Fachrudin & Associates di Kemayoran Jakarta Pusat, Senin (25/11/2019) petang, pengacara, pemilik brand BAFAR dan bintang film Bilal Rehman Fachrudin mempertanyakan apa yang salah dengan keputusan Hakim atas kasus First Travel dalam sistem hukum di Indonesia?
Mengingat hakim memutuskan perkara tersebut mengacu kepada Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP, yang mengatakan barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.
"Ya pastinya dalam perkara ini secara aturan sudah benar, tetapi secara keadilan sangat miris karena uang tersebut bukan aset negara yang dirugikan, tetapi masyarakat yang tertipu oleh perusahaan terdakwa," kata Bilal Rehman.
Dia menambahkan, titik lemah putusan tersebut ada pada sistem hukum negara kita. Karena, negara kita menganut seystem hukum Civil Law (Eropa Kontinental). Yaitu sistem hukum yang berlaku di negara-negara bekas daerah jajahan Belanda. Oleh karenanya, Indonesia berdasar asas konkordansi berlakulah Civil Law.
Di dalam sistem ini terdapat tiga ciri khas sistem hukum, yaitu hukum itu adalah yang dikofikasikan, hakim tidak terikat sistem preseden (doktrin stare decicis), dan hakim berpengaruh besar mengarahkan dan memutuskan perkara (inkuisitorial).
Dalam sistem inilah, imbuh dia, hakim terikat undang-undang dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Hal ini berarti kepastian hukum hanya berupa bentuk dan sifatnya tertulis.
Kedudukan hakim sangatlah sentral, karena hakim memeriksa langsung materi kasus yang ditangani, menentukan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang sedang berperkara, sekaligus menerapakan hukumannya.
"Untuk itu, maka tidak dikenal juri di dalam sistem ini," terang Bilal Rehman.
Berbeda dengan sistem Common Law (Anglo Saxon), sistem yang berlaku di Inggris dan negara-negara bekas daerah jajahannya.
Di dalam sistem hukum ini terdapat tiga karakteristik, yaitu yurisprudensi sebagai sumber hukum utama. Dianutnya sistem preseden (doktrin stare decicis) dan terdapatnya adversary system dalam peradilannya.
Dengan sistem ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan yang berkembang melalui putusan-putusan pengadilan.
Hakim menggunakan stare decicis atau keputusan hakim terdahulu, untuk perkara yang sejenis sebagai dasar pembenaran keputusan.
Kedudukan hakim terbatas memeriksa dan memutuskan hukumnya. Sementara juri yang memeriksa kasus untuk dapat menentukan dan memutuskan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara.
Keterlibatan juri menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung sepenuhnya kepada lembaga peradilan, tetapi menjadi bagian integral kehadiran masyarakat dalam proses penegakannya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.