Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Respons Jokowi Sikapi Kritik ICW: Kalau Setiap Hari Beri Grasi ke Koruptor, Baru Komentari

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyikapi kritik ICW terkait pemberian grasi terhadap narapidana korupsi Annas Maamun.

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Respons Jokowi Sikapi Kritik ICW: Kalau Setiap Hari Beri Grasi ke Koruptor, Baru Komentari
Youtube Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan tidak semua permohonan grasi dari narapidana dikabulkan dirinya.

Jokowi menyebut dari ratusan permohonan setiap tahunnya, hanya beberapa yang diterima.

Hal tersebut dilontarkan Jokowi merespon kritik atas pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun, narapidana kasus korupsi yang ditangani KPK.

"Coba dicek berapa yang mengajukan. Berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa? Dicek betul," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/11/2019).

Baca: Beri Grasi ke Annas Maamun, Jokowi Sebut Pertimbangan Kemanusiaan

Jokowi menuturkan apabila setiap hari atau setiap bulan dirinya mengeluarkan grasi kepada koruptor, dia mempersilakan untuk dikomentari.

"Kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor setiap hari atau setiap bulan itu baru, itu baru silahkan dikomentari. Ini kan apa," imbuhnya.

Berita Rekomendasi

Pria asal Solo ini mengatakan pemberian grasi kepada Annas Maamun sudah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Baca: KPK Komitmen Laksanakan Putusan Grasi Annas Maamun

Selain itu, kata Jokowi, pihaknya juga mempertimbangkan usia dan kesehatan Annas Maamun.‎

Sehingga dari kacamata kemanusiaan itulah grasi diberikan.

Diketahui Annas mendapat grasi berupa pengurangan hukuman pidana selama satu tahun dari Jokowi.

Grasi itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019. Grasi ini membuat Annas akan bebas tahun depan, tepatnya 3 Oktober 2020.

Baca: Ahok Diberi Tugas Utama Turunkan Impor Migas, Jokowi Pernah Beri Teguran Langsung

‎Sebelumnya Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyayangkan sikap Jokowi yang memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi.

Menurutnya, hal itu semakin menegaskan bahwa Jokowi memang tak memiliki komitmen antikorupsi.

"ICW kecewa sekaligus mengecam langkah dari Presiden Joko Widodo yang justru memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau, Annas Maamun," ungkap peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya.

KPK kaget Jokowi beri grasi kepada Annas Maamun

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kaget dengan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi berupa pengurangan masa hukuman terhadap mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.

"Kami cukup kaget ketika mendengar Informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2019).

Annas Maamun merupakan terpidana kasus suap terkait alih fungsi hutan di Riau.

Selain kasus suap alih fungsi hutan, Annas Maamun saat ini masih berstatus tersangka pemberi suap kepada DPRD Riau terkait pembahasan RAPBD Perubahan tahun 2014 dan RAPBD tahun 2015.

Baca: Komplikasi Penyakit Jadi Alasan Presiden Jokowi Beri Grasi Kepada Mantan Gubernur Riau Annas Maamun

"Kasus korupsi yang dilakukan bersangkutan terkait dengan sektor kehutanan, yaitu suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu," kata Febri Diansyah.

Diketahui, Jokowi melalui Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 memberikan grasi atau pengurangan masa hukuman kepada Annas Maamun.

Annas Maamun diketahui dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Hukuman itu bertambah 1 tahun dari vonis Pengadilan Tipikor Bandung pada 24 Juni 2015.

Annas Maamun dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Annas terbukti menerima suap sebesar Rp500 juta dari pengusaha Gulat Medali Emas Manurung yang saat itu menjabat Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.

Baca: Uji Materi UU KPK: Ujian Kredibilitas Mahkamah Konstitusi

Suap itu diberikan agar Annas memasukkan permintaan Gulat Manurung dalam surat Gubernur Riau tentang revisi kawasan hutan meskipun lahan yang diajukan bukan termasuk rekomendasi tim terpadu.

Dengan grasi yang diberikan Jokowi, hukuman Annas dikurangi setahun dari semula 7 tahun menjadi 6 tahun.

Dengan grasi ini, Annas akan menghirup udara bebas pada 3 Oktober 2020 dari semula 3 Oktober 2021.

Febri menjelaskan, KPK baru menerima surat dari Lapas Sukamiskin, Selasa (26/11/2019) sore.

Surat tersebut berisikan meminta KPK melakukan eksekusi dan melaksanakan Kepres No. 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019 tentang pemberian GRASI terhadap Annas Maamun.

Baca: Ketua PDIP Sumut Japorman Saragih Tak Tahu Dirinya Jadi Tersangka Kasus Gatot Pujo Nugroho

Febri menyatakan, KPK akan memperlajari surat tersebut.

"Dengan tetap menghargai kewenangan Presiden memberikan pengampunan (grasi) terhadap terpidana kasus korupsi Saudara Annas Maamun dalam perkara ini, KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," katanya.

Febri menyatakan, penanganan perkara Annas Maamun telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Annas ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014 hingga putusan berkekuatan hukum tetap di MA pada 4 Februari 2016.

Annas diketahui, didakwa kumulatif yakni menerima suap 166.100 dolar AS dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 Hektar di 3 Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Baca: Isu Calon Menteri Setor Rp500 M, KPK Minta Rakyat Kawal Kabinet Indonesia Maju

Ia juga menerima suap Rp500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.

Kemudian Annad juha menerima suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar dari pemilik PT Darmex Group atau Duta Palma Group Surya Darmadi melalui Legal Manager PT Duta Palma Group Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.

"Selain itu, pengembangan penanganan perkara ini juga sedang berjalan. KPK telah menetapkan 3 tersangka baru pada 29 Maret 2019, yang terdiri dari sebuah korporasi dan dua perorangan, yaitu PS (Palma Satu), SRT (Suheri Terta) dan SUD (Surya Darmadi)," kata Febri.

KPK menekankan korupsi yang terjadi di sektor kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat.

Dari kajian KPK di bidang pencegahan pun, terdapat tiga temuan yang menjadi masalah di sektor kehutanan yang membuka celah korupsi.

Pertama, ketidakpastian status kawasan hutan atau legal but not legitimate.

Berdasar data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017, penetapan kawasannya baru 68,29 persen dari total 125,9 juta hektare.

Kedua, perizinan SDA (sumber daya alam) rentan suap atau pemerasan.

Terhitung untuk satu izin HPH/HTI besar potensi transaksi koruptif berkisar antara Rp688 juta hingga Rp22,6 miliar rupiah setiap tahun.

"Selain itu, nilai manfaat SDA tidak sampai ke masyarakat. Ketimpangan pengelolaan hutan oleh kepentingan skala besar. Hanya 3,18% yang dialokasikan untuk skala kecil," kata Febri.

Alasan kemanusiaan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi, Annas Maamun.

Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto, Annas Maamun diberi grasi karena mengidap komplikasi penyakit.

"Mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter, seperti PPOK (COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak nafas (membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari)," kata Ade Kusmanto kepada wartawan, Selasa (26/11/2019).

Baca: Setelah Jokowi Kasih Grasi, Annas Maamun Bebas 3 Oktober 2020

Berdasarkan Permenkumham nomor 49 tahun 2019 tentang tata cara permohonan grasi, Jokowi memberikan grasi dengan alasan kepentingan kemanusiaan.

Selain itu kata Ade, usia mantan Gubernur Riau tersebut pun sudah menyentuh 78 tahun.

Dalam peraturan itu, pemohon dapat mengajukan grasi jika sudah mencapai umur 70 tahun ke atas.

Lanjut Ade, berdasarkan pasal 6A ayat 1 dan 2, UU nomor 5 tahun 2010, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan Ham berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut.

Baca: PPP Tantang Humphrey Djemat Sebut Nama Partai Politik yang Minta Rp 500 Miliar ke Calon Menteri

"Selanjutnya presiden dapat memberikan grasi
setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM," katanya.

Diberitakan sebelumnya, Annas Maamun dipastikan dapat menghirup udara bebas pada 3 Oktober 2020 setelah Presiden Jokowi memberikan grasi berupa pengurangan masa hukuman.

Keputusan grasi itu tertera pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019.

Baca: Beri Modal Untuk Ibu-ibu Desa Terpencil, Ini Kisah Andi Taufan Garuda Putra Staf Khusus Presiden

Semula, Annas akan bebas pada 3 Oktober 2021. Ia menjalani masa hukuman selama tujuh tahun. 
Namun Jokowi memberi keringanan berupa potongan masa hukuman selama satu tahun.

Namun pidana denda Rp200.000.000 subsider pidana kurungan selama enam bulan tetap harus dibayar Annas. Annas pun telah membayar denda itu pada 11 Juli 2016.

Terdakwa Gubernur Riau non aktif Annas Maamun menjani sidang lanjutan kasus suap alih fungsi kawasan hutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Rabu (1/4/2015). Dalam persidangan kali ini jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK menghadirkan tiga orang saksi yakni Wakil Gubernur Riau Arsyad Juliandi Rahman, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zuher (kanan) dan M Yakdis dari Bappeda Riau. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Terdakwa Gubernur Riau non aktif Annas Maamun menjani sidang lanjutan kasus suap alih fungsi kawasan hutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Rabu (1/4/2015). Dalam persidangan kali ini jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK menghadirkan tiga orang saksi yakni Wakil Gubernur Riau Arsyad Juliandi Rahman, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zuher (kanan) dan M Yakdis dari Bappeda Riau. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Diketahui Annas jadi penghuni Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat sejak 2014. Ia dijerat KPK hingga akhirnya diadili dengan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Baca: Titik Bangkit Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Penyandang Tuna Rungu, Dimulai dari Kampus

Annas terbukti menerima Rp500 juta dari pengusaha bernama Gulat Medali Emas Manurung.

Pemberian uang itu dilakukan agar Anas memasukkan permintaan Gulat Manurung dalam surat Gubernur Riau tentang revisi kawasan hutan meskipun lahan yang diajukan bukan termasuk rekomendasi tim terpadu. Annas pun divonis pada 24 Juni 2015 dengan hukuman enam tahun penjara.

Hukuman bekas politikus Partai Golkar itu diperberat di tingkat kasasi menjadi tujuh tahun.

Namun melalui grasi, hukuman Annas Maamun kembali menjadi enam tahun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas