Senator NTT: Desa Adat Harus Dapat Dana Desa
Abraham Liyanto berpandangan keberadaan desa adat perlu mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPD RI dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto berpandangan keberadaan desa adat perlu mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Anggarannya bisa sama dengan dana desa yang dikucurkan untuk seluruh desa di tanah air. Bisa juga melalui mekanisme lain, asalkan ada anggaran tetap dari negara.
"Supaya desa adat tetap ada dan terpelihara. Keberadaan desa adat sangat penting sebagai kekayaan budaya bangsa ini," kata Abraham saat Rapat Kerja (Raker) Komite I DPD dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar di gedung DPD, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Ia menjelaskan desa adat punya peran dalam mengatasi berbagai persoalan dan konflik sosial di daerah.
Pendekatan-pendekatan adat lebih ampuh dan mudah menyelesaikan masalah bila dibandingkan dengan mekanisme formal atau hukum.
Baca: Kemendagri: 21 Persen Aparatur Dana Desa Hanya Lulusan SD dan SMP
Desa adat juga sangat perlu untuk menjaga kelestarian adat dan budaya di kampung-kampung atau desa-desa.
"Dalam menyelesaikan apa pun, kita selalu memakai kata 'selesaikan secara adat'. Ini artinya kita semua memahami cara-cara penyelesaian persoalan dengan mekanisme adat, memang mudah, cepat dan terhormat. Sayang kalau penyelesaian masalah secara adat yang ada di seluruh pelosok negeri ini hilang begitu saja karena diambilalih desa dinas atau desa pemerintah," jelas Abraham yang juga sebagai Sekretaris Kelompok atau Fraksi DPD di MPR.
Menurutnya, pemberian anggaran memang selektif dan punya standarisasi. Misalnya desa adat yang dapat bantuan adalah yang telah diakui secara nasional.
Bahkan bila perlu harus ada pengakuan dari badan budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Syarat lainnya adalah desa adat sebagai tujuan pariwisata, baik lokal, nasional maupun internasional.
Sejumlah desa adat yang layak mendapat bantuan misalnya suku Baduy (Banten), Wae Rebo (NTT), desa adat Dayak (Kalimantan Timur), Kampung Naga, Tasikmalaya (Jawa Barat), desa Trunyan (Bali), dan berbagai desa adat yang sudah terkenal.
"Daripada dana desa diterima desa siluman atau fiktif, lebih baik dikasih ke desa adat. Mereka bisa gunakan untuk bangun infrastruktur desa adat," tegas Abraham yang juga Ketua Kadin Propinsi NTT ini.
Dia mengusulkan dalam revisi UU Desa, perlu dirumuskan secara detail terkait desa adat. Bukan seperti pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang tidak detail mengatur desat adat dan tidak ada aturan khusus soal anggaran bagi pengembangan desa adat.
"Desa adat akan hilang kalau tidak dibantu negara. Padahal kita semua berasal dari desa adat. Nanti lama-lama, kita tidak kenal adat dan budaya kita sendiri," tutup Abraham.
Menanggapi usulan itu, Halim menyatakan akan mempelajarinya. Dia prinsipnya setuju ada perlindungan terhadap berbagai kekhasan adat yang ada. Alasannya, asal-usul kehidupan masyarakat moderen adalah dari desa adat.
Bahkan dia mengakui berbagai pembangunan yang ada cenderung merusak dan menghilangkan desa adat. Pola pembangunan seperti itu harus diakhiri dengan menempatkan desa adat sebagai sesuatu yang luhur.
"Harus dihindari betul pembangunan jangan merusak budaya. Pembangunan boleh tapi tidak merusak peradaban. Kadang-kadang pembangunan kita merusak peradaban," ujar Halim.
Sebagaimana diketahui desa adat adalah unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus wilayah (hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat.
Desa adat memiliki perbedaan status, kedudukan dan fungsi dengan desa dinas (desa administratif pemerintahan). Desa adat fungsinya dibidang adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan dari lembaga adat)".
Sedangkan "Desa dinas" dilihat dari fungsinya di bidang pemerintahan merupakan lembaga pemerintah yang paling terbawah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.