Pegawai Bakal Mundur Usai Pengesahan UU KPK, Apa Jalan Tengahnya?
Kabar mundurnya anggota Penasihat KPK menguat sejak DPR dan pemerintah menyetujui UU KPK hasil revisi yang disebut-sebut memangkas banyak kewenangan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga anggota Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipastikan mengundurkan diri. Mereka adalah Muhammad Tsani Annafari, Sarwono Sutikno, dan Budi Santoso.
Kabar mundurnya anggota Penasihat KPK menguat sejak DPR dan pemerintah menyetujui UU KPK hasil revisi yang disebut-sebut memangkas banyak kewenangan serta independensi KPK.
Selain itu, Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi III DPR pada Rabu pekan lalu mengatakan, aksi mundur juga akan dilakukan tiga pegawai lainnya.
Ketiga pegawai KPK itu mengundurkan diri karena tidak ingin beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Baca: Harapan 2 Pimpinan KPK Kepada Jokowi Untuk Tetap Terbitkan Perppu
"Yang mengajukan mundur sudah tiga orang. Sisanya masih wait and see. Kalau independensi ini dapat dijamin, saya kira yang pindah tidak akan banyak," kata Agus.
Soal independensi akhir-akhir ini memang menjadi isu sensitif di KPK, khususnya sejak UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pasalnya, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa seluruh pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) dan tunduk pada ketentuan perundang-undangan aparatur sipil negara.
"Yang paling dikhawatirkan bagi KPK ke depan, bukan sekadar bagi pegawai KPK, tetapi pertanyaan seriusnya apakah KPK masih bisa bekerja secara independen kalau status pegawainya adalah ASN," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Sabtu (30/11/2019).
Dia mengatakan, salah satu persoalan paling prinsipil yang dihadapi KPK setelah UU KPK hasil revisi disahkan, adalah dari aspek independensi.
Baca: Soal Revisi UU KPK, Laode Syarif Akui Tak Diajak Konsultasi, Arsul Sani: Ada Komunikasi
Sulit membayangkan bagaimana suasana batin pegawai KPK ketika sedang menyelesaikan sebuah kasus, sementara di sisi lain status ASN melekat dalam dirinya.
"Jika statusnya ASN, ASN seperti apa yang bisa menjamin KPK tetap bekerja secara independen?" tanya Febri.
Menurut dia, hal ini sangat penting karena KPK tidak mungkin menangani kasus besar, kasus korupsi yang terkait dengan kekuasaan di eksekutif atau legislatif, kalau para pegawainya tidak diberikan jaminan indepedensi.
Febri mencontohkan, sangat mungkin suatu ketika ada penyelidik, penyidik, penuntut umum atau pegawai KPK yang lain dalam menjalankan tugasnya bersentuhan dengan aktor high level, seperti memeriksa menteri, Ketua DPR atau anggota DPR dan juga ketua instasi lain.
"Kalau pegawainya tak independen riskan untuk digeser, dipindahkan, atau diintervensi kenaikan pangkatnya karena posisi sebagai ASN itu. Jika itu terjadi, sama saja dengan masa depan KPK dan pemberantasan korupsi akan jauh lebih gelap," kata mantan Ketua Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Karena itu, dalam proses transisi KPK, baik dari sisi regulasi atau pimpinan, dia berharap pihak-pihak yang punya kewenangan atau otoritas untuk memastikan agar pegawai KPK, meskipun ASN, tetap independen.
"Jangan sampai ada pegawai KPK dengan sangat mudah digeser dan dipindahkan kemudian diintervensi karena posisi sebagai ASN, padahal dia sedang menangani kasus besar," tegas Febri.
Sementara itu, Tsani Annafari, penasihat KPK yang mulai Senin depan tak lagi berkantor di KPK, tak menampik akan ada pegawai KPK lainnya yang bakal mundur dari gedung Merah Putih. Namun, dia enggan menjelaskan secara detil.
"Tentu saya tidak bisa berbicara detil, kalaupun saya tahu mungkin yang bersangkutan belum tentu mau diberitakan. Tapi intinya, itu adalah hak masing-masing pribadi," kata Tsani di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2019).
Dia mengatakan, pegawai masuk dan keluar adalah hal yang biasa di lembaga atau perusahaan. Karena setiap orang punya hak menentukan jalan hidupnya.
Baca: IPW: Desakan Firli Mundur dari Polri, Bentuk Ketakutan Oknum-oknum di Internal KPK
"Lembaga ini butuh orang-orang terbaik di negeri ini dan saya meyakini teman-teman yang ada di dalam yang saat ini melakukan pekerjaannya tetap akan menjaga komitmen untuk memberikan yang terbaik," Tsani memungkasi.
Lantas, apa langkah yang harus diambil agar pegawai KPK bisa menjaga komitmen pemberatasan korupsi?
Enam pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memilih mengundurkan diri sebelum masa jabatannya habis.
Meski dengan alasan yang berbeda, mereka mundur akibat akumulasi kekecewaan yang dirasakan sejak disahkannya UU Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melihat langkah sejumlah punggawa antikorupsi itu sebagai hal yang wajar.
Dengan semua pelemahan yang dilakukan melalui UU yang baru, dia menilai sikap yang ditunjukkan pegawai KPK itu bisa dipahami.
Baca: Tsani Annafari Angkat Koper dari KPK, Balik Lagi ke Kemenkeu
"Kita pandang itu ekspresi yang wajar ya, dilakukan oleh pegawai KPK di tengah pelemahan yang sangat sistematis oleh pemerintah dan DPR. Dan baru saja kita melihat sikap tidak pro pemerintah terhadap pemberantasan korupsi oleh negara," kata Kurnia kepada wartawan, Sabtu (30/11/2019).
Menurut dia, ada dua hal yang memicu sikap kritis pegawai KPK terhadap pemerintah. Yang pertama ketika negara dalam hal ini pemerintah dan DPR merestui 5 komisioner baru KPK yang diduga banyak persoalan, lolos dan akan dilantik pada Desember nanti menjadi pimpinan KPK.
"Yang kedua, proses revisi UU KPK yang dilakukan sangat tertutup, banyak sekali persoalan formil dan materil, namun tetap dilanjutkan dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Jadi wajar saja karyawan KPK bersikap keras, karena lembaganya memang tidak diinginkan hadir oleh negara," tegas Kurnia.
Dampak lainnya, ujar dia, disahkannya UU KPK yang baru juga berpengaruh pada kinerja. Ke depan mereka tidak bisa lagi bekerja maksimal karena ketidaknyamanan.
Akibatnya, ekspektasi publik tidak akan terjawab oleh KPK, apalagi jika gelombang mundurnya pegawai KPK ini terus berlanjut.
"KPK tidak bisa bekerja secara maksimal karena undang-undangnya, baik di ranah pencegahan dan penindakan. Di sini yang salah bukan KPK melainkan negara, karena tidak mempunyai konsep penguatan lembaga antikorupsi," ujar Kurnia.
Dia melihat, dalam kondisi saat ini KPK tak bisa berbuat banyak untuk mengubah keadaan, lantaran KPK juga tergantung ada lembaga lain, khususnya dalam soal kewenangan, yaitu kepada pemerintah.
"Jalannya cuma satu, khususnya untuk Presiden. Presiden harus mengeluarkan perppu yang memuat merevisi UU KPK. Secara jelasnya, perppu ini memuat undang-undang KPK yang baru dibatalkan dan mengembalikan regulasi KPK seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 seperti sediakala," papar Kurnia.
Baca: Jokowi Pangkas Eselon III dan IV, Dikhawatirkan Timbulkan Gejolak Kalangan ASN, DPR Beri Tanggapan
Menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus peka dengan konteks penegakan hukum yang tak bisa dianggap enteng.
Salah satunya yaitu bagaimana memperkuat lembaga serta kewenangan dari lembaga penegak hukum, khususnya di bidang pemberantasan korupsi.
"Jadi jangan fokus hanya pada ekonomi dan investasi tanpa memikirkan sektor penegakan hukum. Ini KPK sudah di ujung tanduk, bahkan sebenarnya sudah hancur per tanggal 17 Oktober dari pengesahan UU KPK yang baru," tegas Kurnia.
Untuk mewujudkan semua itu, lanjut dia, Jokowi dan KPK harus punya pandangan yang sama tentang pentingnya penegakan hukum, khususnya di bidang pemberantasan korupsi.
Jika tidak, maka Presiden tak akan menganggap penegakan hukum sebagai kebijakan strategis.
"Jokowi harus menempatkan KPK sebagai leading sector pemberantasan korupsi, dan harus ada satu kesamaan pandangan. Karena kita melihat saat ini tidak satu frekuensi dengan Presiden, dengan kebijakannya tidak mengganggap korupsi sebagai extraordinary crime," Kurnia menandasi.