Perppu KPK Belum Terbit, Wakil Ketua KPK: Korupsi Bisa Menyandera Negara
Saut Situmorang: keadaan masa kini cukup relevan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019 lewat perppu.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang masih menantikan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang lembaga antirasuah.
Menurut mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu, keadaan masa kini cukup relevan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019 lewat perppu.
"Masih ditunggu sampai kapanpun atau kalau tidak sejarah akan mencatat seperti apa situasi kebatinan state capture corruption (korupsi menyandera) negara ini dari waktu ke waktu," ujar Saut kepada wartawan, Senin (2/12/2019).
Baca: Soal Perppu KPK, Fadjroel Rachman: Tak Perlu Diterbitkan, Sudah Ada UU Nomor 19 Tahun 2019
Baca: Jokowi Tidak Terbitkan Perppu, Wakil Ketua KPK Masih Berharap Kebijaksanaan Presiden
Ia mengatakan, saat ini publik dikondisikan memandang bahwa KPK hanya getol melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan tak mampu melakukan penindakan serta pencegahan.
Padahal, menurut Saut, selama ini KPK sangat intens melakukan pencegahan.
Untuk itu, ia berharap Presiden Jokowi mengeluarkan perppu KPK.
Saut khawatir UU KPK hasil revisi dapat membuat pencegahan dan penindakan KPK menjadi longgar.
"Jadi sekali lagi sudi apalah kiranya untuk dikeluarkan saja Perppu guna menyelamatkan negeri ini," kata Saut.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Uji materi dengan nomor perkara 57/PUU-XVII-2019, diajukan oleh 18 mahasiswa dari berbagai universitas.
Alasan tidak diterima karena pemohon salah objek. Sehingga permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Anggota Majelis Hakim Enny Nurbaningsih menilai keputusan itu diambil saat menerima salinan perbaikan dari pemohon 14 Oktober 2019 usai melaksanakan sidang pendahuluan.
Dari salinan perbaikan tersebut, pemohon menuliskan UU yang diuji materi adalah UU Nomor 16 tahun 2019, bukan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pemohon lewat kuasa hukumnya, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, merasa proses persidangan yang berjalan hingga diputus hakim telah merugikan mereka.
Kerugian yang dimaksud bermula dari kesalahan nomor UU KPK yang akan didaftarkan untuk diuji materi.
Dalam gugatannya, pemohon menuliskan UU Nomor 16 Tahun 2019. Padahal saat itu, UU belum dilakukan penomoran dan belum juga diregistrasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Namun belakangan, terbitlah UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Penomoran itu setelah dilakukan revisi.
Sebenarnya, pemohon sudah berniat melakukan perbaikan. Apalagi jika mengacu pada jadwal sidang perbaikan digelar 23 Oktober.
Namun tiba-tiba, pihaknya mendapat kabar bahwa sidang dimajukan menjadi 14 Oktober. Padahal saat itu, penomoran resmi belum keluar dan baru terbit tiga hari setelah sidang yakni 17 Oktober 2019.
Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman menyarankan agar pemohon mengambil langkah hukum lanjutan.
"Jadi kalau Istana, mengimbau, kalaupun masih ada upaya untuk mengajukan, uji yudisial terhadap UU KPK, lakukan dengan sebaik-baiknya," kata Fadjroel di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Dengan adanya penolakan uji materi UU KPK, dia memastikan Presiden Jokowi tak akan menerbitkan perppu.
"Tidak ada dong, kan perppu tidak diperlukan lagi. Sudah ada Undang-undang, yaitu Nomor 19 tahun 2019. Tidak diperlukan lagi Perppu," kata Fadjroel.