3 Pimpinan KPK Cs Minta Hakim Konstitusi Tunda Pemberlakuan Undang-Undang Baru KPK
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk menunda pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama sepuluh pemohon dan 39 kuasa hukum meminta agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menunda pemberlakuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum pemohon yakni Feri Amsari di ruang sidang lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
"Kami mengajukan pengajuan formil kemudian MK dapat memutuskan, dalam provisi menyatakan menunda keberlakuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK," kata Feri.
Baca: Peneliti Sebut Lebih Baik Sasar Aset dan Kenikmatan Ekonomi Koruptor Ketimbang Hukuman Mati
Sedangkan dalam pokok permohonannya, para pemohon meminta Mahkamah agar mengabulkan permohonan para pemohonan untuk seluruhnya.
Pada petitum kedua, para pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat.
Ketiga mereka meminta Mahkamah menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.
"Keempat, memerintahkan amar putusan Majelis Mahkamah Konstitusi untuk dimuat dalam berita negara atau majelis hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," kata Feri.
Baca: Budi Arie Setiadi Kembali Terpilih Menjadi Ketua Umum Projo
Dalam permohonannya, Feri menjelaskan bahwa para pemohon merupakan para tokoh yang bergelut dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama pada isu pemberantasan korupsi yang memiliki kedudukan hukum sesuai putusan Mahkamah Konstitusi 003 Nomor 27.
Selain itu, para pemohon juga merupakan orang-orang yang terkena dampak langsung atas berlakunya Undang-Undang KPK baru tersebut.
"Bahwa legal standing itu berkaitan dengan hak warga negara mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dianggap memiliki kedudukan hukum," kata Feri.
Selain itu, ia juga menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 terdapat pembentukan peraturan perundang-undangan maka Undang-Undang KPK baru tersebut cacat formil karena tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna.
Baca: Politikus PKS Pertanyakan Logika Pemberian Grasi Terhadap Annas Maamun
Merujuk pada ketentuan Tata Tertib DPR, ia mengatakan kata 'Dihadiri' di dalamnya juga termasuk dalam ketentuan Undang-Undang 12 tahun 2011 tersebut yang menurutnya berarti harus dihadiri secara fisik.
"Dalam catatan kami, setidak-tidaknya tercatat 180 an Anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan itu. Padahal sebagian besar diantara mereka melakukan penitipan absen atau secara fisik dalam persidangan itu," kata Feri.
Selain itu, dalam permohonannya ia juga menyoroti tidak dilibatkannya pihak KPK dalam pembahasan Undang-Undang KPK baru tersebut.
Menurutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi pernah dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif.
Sehingga, begitu Surat Presiden terkait pengiriman perwakilan-perwakilan sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan Undang-Undang tersebut dikeluaekan maka menurutnya seharusnya perwakilan dari KPK juga dilibatkan.
Itu karena KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan yang diajukan perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Tetapi pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menpan RB. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.