Politikus Demokrat: Sebaiknya Ancaman Hukuman di UU Tipikor Hanya Hukuman Mati
Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean setuju penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean setuju penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
Hal itu disampaikan politikus Demokrat itu untuk menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.
"Hukuman Mati bagi koruptor memang akan menjadi salah satu upaya bagi menekan perbuatan korupsi. Saya pikir yang namanya manusia, pasti takut mati," tegas Ferdinand kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).
Untuk itu dia menilai, memang sebaiknya satu-satunya ancaman hukuman di UU Tipikor hanya hukuman mati.
"Tak perlu ada ancaman hukuman pidana penjara. Mungkin akan membuat orang takut korupsi," jelas Ferdinand.
Menurut dia, penerapan hukuman mati ini sangat bisa diterapkan. Syaratnya Pemerintah dan DPR sama-sama menyepakati revisi UU Tipikor.
"Revisi UU-nya dan ganti seluruh ancaman hukuman dari pidana penjara menjadi pidana mati. Itu sangat bisa diterapkan asalkan pemerintah dan DPR sepakat," jelasnya.
Jadi, imbuh dia, bolanya ada di pemerintah dan DPR yang sama-sama bisa mengusulkan revisi UU Tipikor.
"Kita tunggu siapa yang akan mengusulkan lebih dulu, apakah pemerintahan Jokowi atau DPR atau ini hanya sebatas retorika pemberantasan korupsi," ucapnya.
Sasar Aset yang Diperoleh Koruptor
Peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai tidak eranya lagi hukuman mati atau pidana badan diganjarkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
"Hukuman mati atau pidana badan harus ditinggalkan dalam memberantas korupsi," ujar Erwin Natosmal, kepada Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).
Menurut dia, pemberantasan korupsi harus menyasar aset dan kenikmatan ekonomi yang diperoleh para pelaku.
"Harus menyasar aset dan kenikmatan ekonomi yang diperoleh para pelaku," jelasnya.
Selain itu dia menjelaskan, tidak ada satu pun korelasi antara pidana mati dan pengurangan kejahatan.
Bahkan di negara yang menerapkan pidana mati secara eksesif seperti Tiongkok, kata dia, tidak ada bukti empiris hukuman mati dapat menurunkan kasus-kasus korupsi.
"Tidak ada bukti empiris hukuman mati dapat menurunkan kasus-kasus korupsi," ucapnya.
Secara normatif dia mengatakan, hukuman mati bisa diterapkan untuk kasus-kasus korupsi di masa bencana.
"Namun dilihat dalam tren global dan politik hukum Indonesia di masa mendatang (seperti RKUHP), hukuman mati tidak lagi diletakan sebagai pidana pokok yang tdk dapat dievaluasi," jelasnya.
Hukuman Mati Koruptor Bisa Diterapkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa diterapkan asalkan ada kehendak dari masyarakat.
Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor bisa dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tipikor, melalui revisi.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor itu dimasukkan (hukuman mati), juga termasuk (kehendak anggota dewan) yang ada di legislatif ( DPR)," tegas Jokowi di SMK 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019).
Ketika ditanya apakah akan ada inisiatif pemerintah untuk merivisi UU Tipikor agar hukuman mati masuk dalam salah satu pasal, Jokowi kembali menyebut itu tergantung dari kehendak masyarakat.
"Ya bisa saja kalau jadi kehendak masyarakat," imbuhnya.
Untuk diketahui masalah hukuman mati bagi koruptor muncul ketika seorang siswa SMK 57, Harley Hermansyah mempertanyakan ketegasan pemerintah memberantas korupsi.
Menurutnya, mengapa Indonesia tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
"Kenapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati?" tanya Harley.
Jokowi langsung merespo pertanyaan Harley. Ia menjelaskan aturan hukuman mati ada di dalam UU Tipikor. Namun, sampai hari ini belum ada yang dihukum mati.
"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan," ungkap Jokowi.
Jokowi lalu bertanya ke Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang juga hadir di acara tersebut.
Yasonna menjelaskan hukuman mati menjadi salah satu ancaman dalam UU Tipikor. Menurutnya, ancaman itu bisa diterapkan bila korupsi dalam kondisi bencana alam.
Masih Wacana
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menegaskan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) masih wacana.
Yasonna mengaku hingga kini masih melihat perkembangan soal penerapan hukuman mati bagi koruptor.
"Ya kan kami lihat aja dulu perkembangannya. Ini masih wacana," ujar Yasonna di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (9/12/2019).
Yasonna menjelaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin membahas jika memang hukuman mati koruptor dikehendaki masyarakat. Sejauh ini, lanjut Yasonna, belum ada rencana revisi UU Tipikor.
"Belum, belum ada revisi. Nanti kalau ada guliran itu kita pertimbangkan," imbuh Politikus PDI-Perjuangan itu.
Yasonna menyebut ancaman hukuman mati bagi koruptor sebenarnya sudah ada dalam UU Tipikor. Namun, ancaman itu hanya untuk korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya terjadi bencana alam.
"Kalau emang bencana alam, tapi dia korupsi Rp10jt. Kan ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan. Kalau misalnya ada dana bencana alam Rp100 miliar, dia telan Rp25 miliar. Itu sepertiga dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," tambah Yasonna.