Ramai Hukuman Mati Bagi Koruptor, Menurut Ahli Hukum, Kesepahaman Antar Penindak Hukum juga Penting
Ramainya persoalan hukuman mati bagi para koruptor, ahli hukum menjelaskan kesepahaman antar penindak hukum juga penting bagi koruptor.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Di Hari Antikorupsi Sedunia, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor bisa diberlakukan.
Hal itu ia sampaikan saat ditanya salah seorang siswa di SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12/2019).
Menurut Jokowi syarat hukuman mati bagi koruptor adalah ada kehendak dari masyarakat.
Pernyataan dari Presiden Jokowi membuat banyak pihak bereaksi.
Ada yang mendukung wacana pidana mati, ada pula yang mengecam jawaban dari Jokowi yang dianggap kurang tepat.
Tribunnews.com mencoba menelusuri pendapat dari ahli mengenai hukuman mati bagi para koruptor.
Apakah lebih efektif untuk menakuti dan membuat jera bagi para pelaku korupsi?
Pengamat Politik yang juga Ahli Hukum Pidana dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto memberikan jawabannya.
Agus pun memberi komentar terkait pernyataan Presiden yang menyinggung kehendak dan aspirasi masyarakat jika ingin koruptor dihukum mati.
"Sebenarnya itu sudah lama ada aspirasi dari masyarakat soal hukuman mati bagi para koruptor,"
"Dan banyak juga para ahli yang sudah menyampaikan sudah sangat lama, Itu sebabnya ada pasalnya di undang-undang Tipikor," tutur Agus kepada Tribunnews.com, Selasa (10/12/2019).
Agus pun mempertanyakan kepada Presiden apakah memang ada kemauan untuk membuat hukuman mati bagi para koruptor.
Pasalnya aspirasi dari masyarakat sudah ada sejak dahulu.
"Aspirasi dari masyarakat itu sudah ada (sebelum era Jokowi), pertanyaannya, mau tidak Presiden mengajukan RUU untuk melakukan perubahan di UU Tipikor itu,"
"Jadi sebaiknya Presiden tidak usah menantang-nantang soal aspirasi yah, itu sudah ada sejak sangat lama," tegas Agus.
Menurut Agus, hukuman mati buka satu-satunya cara untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Sebenarnya juga ada aspek lain dalam penegakan hukum yang harusnya penting untuk disorot Presiden.
"Kalau kita bicara aspek penegakan hukum, sebenarnya ada lagi wilayah penting yang harus disentuh Presiden," tutur Agus.
Wilayah itu adalah belum adanya kesepakatan yang sama antara pihak terkait untuk menindak kasus korupsi.
"Permasalahan penegakan hukum untuk kasus tindak pidana korupsi itu bukan di sanksi misalnya, tapi di kesepahaman yang sama,"
"Antara penyidik, kejaksaan dan kepolisian, KPK dan hakim, itu penting," ujar Agus.
Soal pelemahan KPK pun ikut disoroti Agus, pasalnya sebelumnya publik mengecam atas berlakunya undang-undang KPK yang terbaru.
Menurutnya UU KPK yang baru justru membuat lemah KPK karena adanya pasal-pasal karet.
"Kalau Indonesia berniat menjerakan koruptor mestinya tidak dilemahkan dong KPK nya,"
"Kan Undang-undang KPK diperlemah oleh Presiden, misal di satu sisi ia ingin menerapkan hukuman mati tetapi KPK dilemahkan," tutur Agus.
Tidak hanya menyoroti soal UU KPK, Agus juga ikut menyoroti pihak-pihak penindak korupsi yang kurang sepaham.
"Lalu jaksa dan penuntut umum di KPK dan kepolisian itu tidak seragam dalam memahami tindak pidana korupsi itu,"
"Sehingga tuntutan dan dakwaan bisa beda-beda padahal kasusnya mirip," ujar Agus menjelaskan.
Tidak hanya jaksa, penuntun umum di KPK dan juga kepolisian, hakim pun ikut disoroti Agus.
"Hakim juga tidak seragam dalam memutus perkara, atas dasar kemandirian hakim, hakim itu memutus perkara sangat rendah kalau saya lihat, tidak tinggi," ucap Agus.
Agus pun menambahkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang telah mensurvey vonis terhadap koruptor termasuk rendah.
"Bahkan ICW mengatakan 80% hukuman yang dilakukan hakim tahun 2018 itu maksimal hanya 1 sampai 4 tahun untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia," ujar Agus.
Untuk itu penting sekali, menurut Agus, jika penegakan hukum harus ada keseragaman dari Jaksa, Hakim, KPK dan Kepolisian.
"Nah artinya kalau kita ingin menegakkan hukum penjeraan pelaku tindak pidana mestinya ada keseragaman antar pihak terkait," ujar Agus.
(Tribunnews.com/Inza Maliana)