Tak Selaras dengan Pemberian Grasi, Soal Hukuman Mati Koruptor PKS Sebut Jokowi Keliru
Anggota Komisi III DPR fraksi PKS, Nasir Djamil menilai Presiden Jokowi keliru soal hukuman mati untuk koruptor. Nasir menyinggung grasi Annas Maamun.
Penulis: Nidaul 'Urwatul Wutsqa
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi III DPR fraksi PKS, Nasir Djamil menilai Presiden Jokowi keliru soal hukuman mati untuk koruptor.
"Jadi Pak Jokowi menurut saya keliru kalau mengatakan bahwa hukuman mati itu berdasarkan kehendak masyarakat," kata Nasir Djamil, dilansir dari Kompas TV, Selasa (10/12/2019).
Nasir Djamil mengatakan ketentuan hukuman untuk koruptor sudah diatur dalam UU Tipikor, bukan masyarakat.
"Hukuman mati itu kan ada di UU HAM, UU Psikotropika, dan UU tentang tindak pidana korupsi itu sendiri," sambung Nasir.
Diketahui sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan hukuman mati dapat diterapkan bagi pencuri uang negara (koruptor).
Hal ini ia singgung saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diselenggarakan di SMK 57 Jakarta.
Menurutnya, hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sangat tergantung kepada aspirasi masyarakat.
Selain itu, harus ada revisi undang-undang yang dilakukan oleh DPR-RI.
Presiden lantas menyatakan tak menutup kemungkinan inisiatif usulan ini akan datang dari pemerintah.
"Kehendak masyarakat, kalau memang masyarakat berkehendak seperti itu ya dalam rancangan undang-undang pidana, Tipikor, itu dimasukkan. Tapi sekali lagi juga tergantung kepada yang ada di legislatif," ungkap Jokowi.
Di sisi lain, menurut Nasir, presiden tidak perlu membuat retorika dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Nasir menyoroti adanya statment Jokowi yang bertolak belakang terhadap apa yang telah ia sampaikan soal hukuman mati.
Nasir memandang sikap presiden dalam pemberian grasi terhadap terpidana korupsi Annas Maamun dengan alasan kemanusiaan adalah statment yang tidak selaras.
Ia menyarankan sebaiknya Jokowi segera mengoreksi keputusan yang dibuat dalam memberikan grasi terhadap Annas Maamun.
Senada dengan Nasir, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyinggung pemberian grasi kepada Annas Maamun.
Menurutnya, grasi merupakan kebijakan yang justru memberikan ruang bagi para pelaku korupsi untuk mendapatkan akses terhadap kebebasan.
ICW menyarankan presiden mengambil langkah nyata memerangi korupsi, salah satunya menerbitkan perpu KPK.
Pada Selasa (27/11/2019) dilansir dari Tribunnews, diketahui Presiden Jokowi memberikan grasi terhadap terpidana korupsi Mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Hal itu berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019.
Alasan presiden selain berdasarkan pertimbangan MA dan Menko Polhukam Mahfud MD adalah karena rasa kemanusiaan.
Hal itu lantaran usia Annas Maamun sudah cukup uzur dan sakit-sakitan.
Grasi kepada Mantan Gubernur Riau Annas Maamun diberikan pengurangan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Dengan demikian Anas Maamun yang kini di tahan di Lapas Sukamiskin, Bandung akan bebas pada Oktober 2020 dari masa hukuman yang seharusnya berakhir pada Oktober 2021.
Adanya grasi dari Presiden Jokowi, Anas Maamun menjalani total masa hukuman 6 tahun penjara dari vonis 7 tahun yang dijatuhkan hakim.
Diberitakan sebelumnya, Annas Maamun karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan senilai Rp 5 miliar di Riau.
Annas Maamun diduga melakukan alih fungsi lahan dan dijatuhi hukuman vonis 6 (enam) tahun penjara oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung.
Kemudian pada 2018, Annas Maamun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun sayang, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi 7 (tujuh) tahun penjara. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)