Legislator PPP: Akan Berkurang Beban Siswa untuk Belajar Melebihi Porsinya
Illiza Sa'aduddin DJamal mengapresiasi keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional mulai 20
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PPP, Illiza Sa'aduddin DJamal mengapresiasi keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional mulai 2021.
Dengan begitu menurut mantan Wali Kota Banda Aceh ini, akan berkurang beban siswa untuk belajar melebihi porsinya yang selama ini terjadi tatkala harus menghadapi UN.
"Hal ini terlihat para murid harus ekstra hanya untuk lulus UN dengan harus mengorbankan hal-hal positif yang lain," ujar Illiza kepada Tribunnews.com, Rabu (11/12/2019).
Selain itu selama penerapan UN, kata dia, psikologi anak akan berdampak negatif.
Baca: PGRI: Itu Upaya Baik Tapi Ada Catatannya
"Karena belajar yang terkesan dipaksakan dengan frekuensi belajar di luar kemanpuan anak itu sendiri," jelasnya.
Di tambah lagi kini, imbuh dia, UN bukan menjadi tolok ukur untuk lulus atau tidaknya murid ke Perguruan Tinggi. Apalagi sekarang adanya sistem Ujian tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Selain juga selama ini UN membebankan anggaran negara yang luar biasa besar, yakni Rp35 miliar (2018) dan Rp135 miliar (2017).
Lebih lanjut terkait kebijakan pengganti UN, yakni Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dia menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan kajian menyeluruh.
Baca: Legislator Golkar: Selama Ini UN Lebih Banyak Hafalan
Khususnya terhadap UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini terkait pembagian kewenangan pendidikan dasar dan menengah.
Karena masing-masing daerah sesuai kewenangannya diperkenankan untuk melakukan penyesuaian kebijakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada untuk pelayanan publik yang baik.
Artinya dia menjelaskan, kajian ini harus sifatnya dari bawah dengan melihat kondisi dan ketersedian perangkat yang menunjangnya.
Menurut dia, kebijakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter ini baik apabila semua perangkat, baik sistem maupun regulasi menunjang keberlakuan sistem ini. Di samping sosialisasi yang masif dikalangan steakholder pendidikan.
Baca: Nadiem Kembalikan Sistem USBN kepada Sekolah
Lebih jauh ia menjelaskan, asesmen itu sendiri adalah penilaian kuantifikasi atau penetapan angka tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.
"Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. sehingga sifatnya sangatlah subjektif saat siswa melaksanakann sistem tersebut," jelasnya.
Menurut dia, penilaian kepada siswa haruslah mencakup aspek kemampuan siswa, yaitu pertama pengetahuan dan sikap siswa.
Kedua, menggunakan berbagai cara penilaian pada saat atau waktu kegiatan belajar maupun tidak sedang berlangsung.
Ketiga, pemilihan alat dan jenis penilaian kepada siswa berdasarkan rumusan dari tujuan pembelajaran, visi dan misi sekolah tersebut yang tentu saja tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Baca: Catatan Pimpinan Komisi X DPR Terhadap Kebijakan Nadiem Hapus UN
Keempat, mengacu pada tujuan dan fungsi penilaian kepada siswa. Misal pemberian umpan balik,memberikan laporan pada orang tua siswa,dan pemberian informasi pada siswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya.
Kelima, alat penilaian harus mendorong kemapuan penalaran dan kreativitas siswa. Misalnya tes tertulis uraian, portofolio, hasil karya siswa, observasi dan lain-lain.
Keenam, penilaian dapat dilakukan melalui tes dan non tes. Hhal ini mengacu pada prinsip diferensiasi, yakni memberikan peluang kepada siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui oleh siswa, yang dipahami siswa.
"Dan yang tidak kalah pentingnya siswa tersebut mampu melakukannya terkait hasil observasi, dan kretaifitasnya," jelasnya.
Ketujuh, tidak bersifat diskriminasi, yakni untuk memilih-milih mana siswa yang berhasil dan mana yang gagal dalam menerima pembelajaran.