Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pertimbangan MK Soal Berlakunya Tiga Syarat Baru Bagi Mantan Terpidana yang Akan Ikut Pilkada

Mahakamah Konstitusi telah memutuskan tiga syarat baru bagi mantan narapidana untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Pertimbangan MK Soal Berlakunya Tiga Syarat Baru Bagi Mantan Terpidana yang Akan Ikut Pilkada
net
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi telah memutuskan tiga syarat baru bagi mantan narapidana untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah pada Rabu (11/12/2019).

Berbeda dengan sebelumnya yang berlaku alternatif, ketiga syarat baru tersebut berlaku kumulatif atau ketiganya harus dipenuhi.

Dasar dari pertimbangan tersebut antara lain adalah adanya pergeseran mengenai syarat tersebut yang telah diputus pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dan putusan-putusan sebelumnya yang bersifat kumulatif ke Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang menjadikannya sebagai syarat alternatif.

Menurut Mahkamah, pergeseran tersebut mengakibatkan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas.

Baca: KPK Hargai Putusan MK soal Jeda 5 Tahun Mantan Terpidana Koruptor Maju Pilkada

Sebab apabila syarat-syarat tersebut bersifat alternatif maka dapat dipastikan pilihan yang akan
dilakukan oleh mantan terpidana adalah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

Selain itu, dalam pertimbangannya Mahkamah juga mencermati secara saksama fakta empirik yang terjadi ternyata upaya mengembalikan kepada kedaulatan pemilih tidak sepenuhnya dapat menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegitas.

Sejumlah fakta empirik membuktikan di antara kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalani masa pidana menjadi calon kepala daerah hanya dengan mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana telah ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana.

Berita Rekomendasi

Selain itu, Mahkamah juga mencermati fakta empirik yang menunjukkan calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama khususnya tindak pidana korupsi.

Baca: Setelah 5 Tahun Keluar Penjara Eks Koruptor Bisa Ikut Pilkada, KPK: Untuk Politik yang Berintegritas

Sehingga menurut Mahkamah, proses pemilihan kepala daerah makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka demi melindungi kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih dan berintegritas.

"Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali empat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam pencalonan kepala daerah yang saat ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan hukum di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat pada Rabu (11/12/2019).

Selain karena alasan tersebut, menurut Mahkamah langkah itu juga dipandang penting demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan kepala daerah itu sendiri.

"Yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan," kata Suhartoyo.

Baca: Melalui Putusan MK, Diharapkan Pilkada 2020 Bisa Hadirkan Calon Bersih dan Antikorupsi

Mahkamah Konstitusi memutuskan tiga syarat baru bagi mantan terpidana yang akan maju sebagai kepala daerah dalam proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Syarat pertama adalah calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana yang diancam lima tahun atau lebih kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.

Tindak pidana politik tersebut dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Kedua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

"Tiga. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat pada Rabu (11/12/2019).

Tiga syarat tersebut kini tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).

Hal tersebut dibacakan Anwar ketika membacakan putusan uji materi Undang-Undang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas