Ada Tiga Potensi Ancaman Rawan Konflik di Pilkada 2020, Kemendagri Ingatkan Hati-hati Hoaks Medsos
Kemendagri ingatkan ada tiga potensi ancaman di pelaksanaan pilkada 2020, salah satunya adalah hoaks di medsos.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan diselenggarakan serentak pada tahun 2020.
Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia.
Wilayah tersebut meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Meski hari pemungutan suara di Pilkada 2020 masih 23 september tahun depan, atmosfer Pilkada sudah terasa saat ini.
Sudah banyak para politisi yang mendaftarkan diri melalui partai, untuk menjadi para pemimpin di daerahnya.
Meski belum dibuka masa kampanye, namun sudah ada beberapa poster atau baliho yang terpampang di jalanan.
Pemilihan kepada daerah selalu menarik untuk diperbincangkan.
Meski begitu, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mengingatkan supaya masyarakat berhati-hati.
Adanya Pilkada 2020 pasti membawa sebuah potensi ancaman yang rawan konflik di masyarakat.
Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bachtiar mengatakan setidaknya ada tiga ancaman.
Pertama yang paling sering menimbulkan konflik kecil adalah persebaran informasi lewat media sosial (medsos).
"Potensi terjadinya polarisasi di tengah masyarakat harus diantisipasi dengan baik,"
"Utamanya lewat medsos di mana marak hoaks, ujaran kebencian, kampanye negatif yang dapat menggangu persatuan dan kesatuan harus dicegah secara maksimal," ujar Bahtiar yang dikutip dari Kompas.com, Senin (16/12/2019).
Bachtiar mewanti-wanti kepada masyarakat adanya konflik kecil yang disebarkan di medsos.
Apalagi jika sudah mendekati hari H pemungutan suara.
Meski masih tahun depan, namun saat datangnya hari itu potensi konflik bisa semakin tinggi.
"Biasanya suasana menjadi panas, kampanye tersebut harus dilawan dengan kampanye positif,"
"Di sinilah peran peserta pilkada dan partai pendukung agar ikut serta meminimalisasi suasana panas dan konflik di tengah masyarakat," jelas Bahtiar.
Hal kedua yang menjadi potensi ancaman adalah politik identitas dan politisasi isu SARA.
Di tahun sebelumnya, ancaman tersebut amat berbahaya untuk masyarakat.
Melalui politik identitas dan politisasi isu SARA, masyarakat bisa terpecah belah dan konflik berkepanjangan.
Untuknya, Backhtiar menegaskan potensi ini perlu menjadi perhatian bersama.
hal itu supaya bisa diantisipasi semua pihak yang terkait di daerah.
"Butuh kerja sama semua pihak, pemerintah, penyelenggara, peserta, juga masyarakat untuk melawan ancaman Pilkada 2020 ini," tegas Bahtiar.
Hal ketiga yang menjadi ancaman adalah keberpihakan dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.
Ketidaknetralan itu bisa kepada satu di antara pasangan calon kepala daerah.
Jika hal itu sampai terjadi, bisa menjadi sumber utama konflik dalam seluruh tahapan pemilihan daerah.
Bachtiar berpesan supaya pengawasan masyarakat maupun kontrol pers/media dijaga ketat.
Menurutnya jangan ragu mengungkap dan mengontrol terhadap kinerja dan integritas penyelenggara pemilu di daerah.
"Kita harus memastikan para penyelenggara tersebut adalah orang-orang yang berintegritas,"
"Merekrut jutaan orang penyelenggara pemilu ad hoc yang profesional, netral dan berintegritas bukanlah pekerjaan yang mudah," tambahnya.
Untuk diketahui, Pilkada 2020 akan melibatkan lebih dari 3 juta orang penyelenggara di 270 daerah.
Untuk itu ancaman yang dapat memecah belah bangsa hendaknya dihindari oleh semua pihak yang terkait.
(Tribunnews.com/Maliana)(Kompas.com/Dian Erika N)