Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Alasan 12 Pegawai KPK Mundur, Saut Situmorang: Ada yang Ingin Dekat Keluarga

Saut Situmorang menyebut ada beberapa alasan pegawai KPK sebanyak 12 orang memutuskan untuk mengundurkan diri ada yang beralasan ingin dekat keluarga.

Penulis: Indah Aprilin Cahyani
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
zoom-in Alasan 12 Pegawai KPK Mundur, Saut Situmorang: Ada yang Ingin Dekat Keluarga
Kompas TV
Saut Situmorang menyebut ada beberapa alasan pegawai KPK sebanyak 12 orang memutuskan untuk mengundurkan diri ada yang beralasan ingin dekat keluarga. 

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak bisa memastikan jika mundurnya sejumlah pegawai KPK lantaran terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru.

Saut Situmorang menyebut ada beberapa alasan pegawai KPK sebanyak 12 orang memutuskan untuk mengundurkan diri.

Menurutnya, ada yang beralasan ingin lebih dekat dengan keluarga, hingga ingin mengabdi di tempat lainnya.

"Begitu mengajukan pengunduran diri, mereka hanya bilang ingin dekat dengan keluarga, ingin mengabdi di tempat lain," 

"(Mereka juga katakan) Terimakasih ke KPK yang sudah memberi waktu untuk mengabdi," ujarnya dilansir dari YouTube TVOneNews, Minggu (15/12/2019).

Diketahui, DPR telah menetapkan UU KPK baru dan UU tersebut resmi berlaku pada 17 Oktober 2019.  

"Saya berharap jumlah itu tidak bertambah dan saya tidak bisa memastikan (pengunduran diri tersebut) karena memang UU KPK baru," ujar Saut.

Berita Rekomendasi

Wakil Ketua KPK ini mengaku tak bisa memastikan lantaran para pegawai yang mengundurkan diri mengajukan alasan yang beragam pada pimpinan.

Saut melihat sepanjang empat tahun dirinya bertugas di KPK memang yang mengundurkan diri dengan jumlah cukup banyak terjadi pasca berlakunya UU KPK baru.

Namun, dirinya tak bisa memastikan hal itu sebagai penyebab utama.

Lebih lanjut, Saut berharap pengunduran diri 12 pegawai tersebut tak diikuti oleh pegawai lainnya.

"Ini kan kita nggak bisa pastikan karena UU KPK baru. Ya, semoga nggak bertambah, kemarin waktu acara natal di KPK saya bilang jangan ada yang nambah," kata dia. 

Belakangan ini, mencuat polemik pemberian hukuman mati bagi terpidana koruptor di Indonesia masih terus menjadi perdebatan hingga hari ini.

Sebagian menganggap jenis hukuman ini dapat menimbulkan rasa jera, namun ada juga yang menentangnya dengan berbagai alasan

Hal tersebut diungkap Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menyebut, hukuman mati bagi koruptor sudah tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dilansir dari YouTube KompasTV, Rabu (11/12/2019), Arsul Sani menyebut jika fraksi PPP mendukung jika pemerintah hendak melakukan revisi Undang-undang Tipikor.

Lanjut, ia menilai ada sejumlah hal yang belum dicantumkan di dalam Undang-undang Tipikor.

Beberapa di antaranya ialah Treding of Influence atau Perdagangan Pengaruh dan korupsi di tingkat swasta.

Tak hanya itu, Arsul juga mendukung jika pemerintah akan memperluas aspek-aspek apa saja untuk dikenakan hukuman mati bagi para tersangka koruptor.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menekankan bahwa sebenarnya sejak dulu, pelaku koruptor dapat dijatuhi hukuman mati dalam keadaan tertentu.

Ia menjelaskan, ada dua keadaan yang dapat diberikan hukuman mati bagi koruptor, yakni jika korupsi dilakukan di anggaran bencana alam dan saat negara mengalami krisis ekonomi.

"Jadi soal itu sebetulnya bukan hal yang baru. Hanya memang dalam praktek peradilan kita kan belum pernah ada terdakwa kasus korupsi yang dihukum mati. Yang ada baru hukuman penjara seumur hidup," ungkap Arsul Sani.

Namun, ia mengimbau agar tidak boleh terlalu emosional dalam menanggapi kasus korupsi dengan ancaman hukuman mati.

Meskipun kasus korupsi tersebut kejahatan serius atau luar biasa.

"Karena kalau kita lihat di dalam Undang-undang Tipikor, spektrum tindak pidana korupsi itu ada lebih dari 20. Mana yang bisa dijatuhi hukuman mati dan tidak, sementara ini sudah diatur di dalam Undang-undang Tipikor," kata Arsul Sani.

Tetapi segala keputusan menurutnya tetap di tangan hakim.

Kini, posisi DPR masih menunggu draft atau naskah akademik terhadap revisi ini.

Sebab, revisi Undang-undang Tipikor harus berawal dari pemerintah.

(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas