2019 Adalah Tahun Terberat Pimpinan KPK Jilid IV
Laode M Syarif mengungkapkan pada 2019 ini, pihaknya merasa diserang dan dikepung dari berbagai sisi.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid IV memaparkan kinerja mereka selama empat tahun memimpin lembaga antirasuah.
Agus Rahardjo Cs menyebut 2019 sebagai tahun terberat selama mereka bertugas.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengungkapkan pada 2019 ini, pihaknya merasa diserang dan dikepung dari berbagai sisi. Terutama oleh pihak-pihak yang disebut Syarif anti-pemberantasan korupsi.
"Di ujung tahun kepemimpinan kami ini, tidak berlebihan jika kami ungkapkan, inilah tahun terberat ketika KPK secara keseluruhan terasa seperti dikepung kepentingan anti-pemberantasan korupsi," kata Syarif dalam Konferensi Pers Kinerja KPK 2016-2019 di Gedung Penunjang KPK, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2019).
Baca: Arsul Sebut Dewas KPK akan Diumumkan Saat Pelantikan
Syarif menegaskan pihaknya tidak akan menyerah terhadap serangan tersebut. Dikatakan pimpinan KPK Jilid IV berupaya melawan serangan-serangan yang dinilainya sebagai serangan balik koruptor itu.
"Kami paham, kita tidak boleh menyerah kalah pada perlawanan balik koruptor (corruptors fight back) tersebut," tambahnya.
Meski tak disebut Syarif secara terang, 'ujian' berat yang dihadapi KPK adalah berlakunya UU nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. KPK menyebut terdapat setidaknya 26 poin dalam UU itu yang memperlemah bahkan melumpuhkan kerja KPK.
Baca: KPK Pulihkan Kerugian Negara Sebanyak Rp63,8 Triliun, Ini Rinciannya
Salah satunya mengenai status pegawai KPK yang akan beralih menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Syarif berharap perubahan tersebut tak menggoyahkan integritas yang dimiliki para pegawai.
"Meskipun ada perubahan signifikan mengenai kepegawaian, sudah semestinya fondasi yang dimiliki sebagai insan KPK tidak akan luntur," katanya.
Meski masa kerja Pimpinan KPK Jilid IV akan berakhir dalam hitungan hari, Syarif menegaskan kerja-kerja pemberantasan korupsi belum usai. Masih banyak hal yang harus ditingkatkan KPK di masa mendatang dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Baca: Kata Ketua KPK Kasus e-KTP Paling Sita Perhatian Publik
"Sekali lagi, semua ini belum usai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan di semua fungsi lembaga ini. Yang tidak kalah penting adalah menjaga marwah lembaga pemberantas korupsi ini dengan menguatkan integritas manusia di dalamnya," katanya.
Selain melalui revisi UU KPK, ujian berat lain yang dihadapi KPK sepanjang 2019, yakni sejumlah putusan pengadilan yang menguntungkan terdakwa korupsi. Beberapa di antaranya, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang membebaskan mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir atas perkara dugaan pembantuan tindak pidana suap terkait kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1).
Selain itu, dalam putusan Kasasi, Mahkamah Agung (MA) melepaskan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dari jeratan hukum perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
"Tahun ini, kami menghadapi ujian dalam bentuk vonis kontroversial dalam kasus BLBI dan Direktur Utama PLN dalam dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menambahkan.
Baca: KPK Pulihkan Potensi Kerugian Negara di Sektor Kesehatan Senilai Rp 18,15 Triliun
Saut menegaskan, KPK tidak akan tinggal diam menanggapi dua putusan kontroversial tersebut. Saut memastikan KPK telah mengajukan Kasasi atas putusan bebas Sofyan Basir. Sementara untuk putusan Syafruddin, KPK akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
"Pembangunan PLTU Riau-1, menanggapi putusan tersebut, kami telah mengajukan kasasi atas putusan untuk Dirut PLN dan tengah mempersiapkan pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung untuk putusan lepas untuk SAT dalam kasus BLBI," tegas Saut.