Kadisdik Kota Bekasi Tak Sepakat UN Diganti Asesmen: Regulasinya Harus Jelas
Inayatullah mengaku kurang sependapat dengan penghapusan UN. Menurutnya harus ada regulasi yang jelas sebelum melaksanakan kebijakan baru tersebut.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Inayatullah menanggapi kebijakan terbaru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kebijakan yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim itu terkait Ujian Nasional (UN) yang rencananya diganti dengan Asesmen Kompetensi dan Survei Karakter.
Menanggapi hal tersebut, Inayatullah mengaku kurang sependapat.
Menurutnya, pada dasarnya UN dipakai sebagai satu dari beberapa faktor yang digunakan untuk mengukur parameter siswa.
Parameter itu dipakai tak hanya kepada siswa, tetapi juga kepada guru dalam kegiatan proses belajar-mengajar.
Dalam proses tersebut, Dinas Pendidikan sebagai pelaksana tugas di lapangan menegaskan satu hal.
"Sebagai pelaksana di lapangan atau Dinas Pendidikan, kalau regulasi sudah jelas yang penting UN itu dihapus atau diganti, silakan," tutur Inayatullah yang Tribunnews kutip melalui tayangan YouTube Mata Najwa, Rabu (18/12/2019).
Ia menegaskan, bila UN diganti, maka yang penting ada parameter untuk mengukur bagaimana siswa belajar dengan motivasi tersendiri.
Pengamat Pendidikan Sebut Penghapusan UN Langkah Baik
Sementara itu, pengamat pendidikan, Budi Trikorayanto menilai penghapusan UN oleh Menteri Nadiem Makarim adalah langkah yang lebih baik.
Menurut Budi Trikorayanto, perubahan yang dilakukan sudah melalui kajian-kajian dan pasti akan lebih baik.
"Karena ini dalam rangka memerdekakan guru, memerdekakan pendidikan," ujar Budi Trikorayanto.
Pernyataan tersebut disampaikan Budi Trikorayanto dalam acara Sapa Indonesia Malam yang kemudian diunggah oleh kanal YouTube KompasTV, Rabu (11/12/2019).
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, Budi Trikorayanto mengungkapkan UN selama ini telah membuat disorientasi pendidikan di Indonesia, guru hanya fokus pada UN.
"Apalagi ketika UN menjadi tolak ukur kelulusan dan itu menjadi politik pendidikan daerah ya, target 90 persen harus lulus," jelas Budi Trikorayanto.
Budi Trikorayanto mengatakan penghapusan UN adalah kebijakan pendidikan yang tambal sulam.
"Harusnya melihat UN itu sebagai standar penilaian, kalau mau membebaskan guru itu bukan hanya masalah UN,
standar-standar pendidikan nasional itu sangat membelenggu sebenarnya," ungkapnya.
Meski demikian, Budi Trikorayanto menilai langkah penghapusan UN merupakan langkah yang sangat baik untuk membenahi pendidikan di Indoensia.
Komisi X DPR Sebut Harus Ada Alat Ukur yang Jelas ketika Ujian Nasional Dihapus
Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Ledia Hanifa turut berkomentar terkait kebijakan Mendikbud yang menghapus UN.
Diketahui, pada 2021, UN akan diganti dengan assesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Menurut Ledia Hanifa, ketika UN dihapus seharusnya ada evaluasi yang menyeluruh serta harus ada alat ukur yang jelas untuk menggantikan UN.
Tanggapan tersebut disampaikan Ledia Hanifa dalam acara Sapa Indonesia Malam yang kemudian diunggah kanal YouTube KompasTV, Rabu (11/12/2019).
"Ya memang harus dilakukan evaluasi menyeluruh, ini kalau diubah, diubahnya evaluasi yang seperti apa harus clear dulu," ujar Ledia Hanifa.
Ledia Hanifa menilai jika yang dipakai untuk alat ukur kemudian assesmen kompetensi minimum dan survei karakter, itu sebenarnya alat ukur yang biasa dan memang harus dilakukan.
"Ini sebenarnya alat ukur biasa dan harus dilakukan, problem-nya guru kita punya kemampuan itu atau tidak," kata Ledia Hanifa.
Lebih lanjut, Ledia Hanifa menjelaskan setiap pendidikan memang perlu evaluasi hanya saja alat ukurnya perlu disepakati lebih dulu.
"Menurut saya bagian pertama yang harus dilakukan adalah assesmen di awal," terangnya.
Menurut Ledia Hanifa, assesmen kompetensi seharusnya dimulai dari tiga tahun pertama anak duduk di sekolah dasar untuk membekali anak-anak learning how to learn.
"Ketika siswa itu belum masuk, dia di asses dulu kemampuan dasarnya kemudian perilaku dan segala macam, saya rasa pertiga tahun cukup," jelas Ledia Hanifa.
Diwartakan sebelumnya, Ledia Hanifa juga menyoroti persoalan UN dipakai untuk mengukur kognitif itu tidak tepat.
Karena seharusnya ujian nasional menjadi bahan evaluasi pembelajaran bukan evaluasi pada siswa.
"Jadi bisa dibilang sebenarnya evaluasi untuk sekolah dan guru, apakah benar mereka sudah memberikan pendidikan yang tepat atau tidak," ungkap Ledia Hanifa.
Ledia Hanifah menilai ada keanehan dalam ujian nasional ditingkat SMA yang menggunakan pendekatan high order thinking skills.
Namun, sepanjang pendidikan yang mereka terima tidak pernah mendapatkan bagaimana melakukan dan memikirkan sesuatu yang dengan kritis melalui pendekatan high order thinking skills.
Ledia Hanifa mengatakan jika sudah dua tahun ini, UN tidak menentukan kelulusan namun hanya bagian dari evaluasi.
"Cuma problemnya adalah itu dipakai benar atau tidak oleh pemerintah untuk menjadi bahan evaluasi, pada kenyataannya kan tidak," terang Ledia.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/Nanda Lusiana Saputri)