Program Pengganti UN, Pengamat: Kemendikbud Jangan Ulang Kesalahan, Membuat Ujian Nasional 2.0
Anindito Aditomo mengimbau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tak membuat kesalahan sama dalam program pengganti ujian nasional (UN)
Penulis: Nuryanti
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Anindito Aditomo mengimbau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tak membuat kesalahan sama dalam program pengganti ujian nasional (UN).
Pelaksanaan ujian nasional pada 2021 akan digantikan dengan program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Sehingga Anindito tak ingin program tersebut akan sama saja seperti ujian nasional versi dua.
"Saya ada catatan kritis untuk Kemendikbud, intinya jangan sampai mengulang kesalahan yang sama, membuat ujian nasional 2.0," kata Anindito Aditomo di Studio Trans 7, Rabu (18/12/2019), dikutip dari YouTube Najwa Shihab.
Ia menyebut program pengganti pelaksanaan ujian nasional tersebut sudah bagus.
Menurutnya, program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut sudah formatif.
"Arahnya sudah bagus sekali, membuatnya formatif, dan seterusnya," jelasnya.
Namun, ia tak ingin pelaksanaan program baru Kemendikbud itu menjadi potensi kesalahan ujian nasional yang terulang.
"Tetapi ini menjadi potensi ujian nasional versi dua saja," ungkap Anindito.
Ia berujar, jika program tersebut diterapkan pada semua sekolah dan siswa, sehingga akan terlihat kualitas sekolah saat dilakukan survei.
"Misalnya nanti dilakukan pada semua sekolah dan siswa, jadi ada data sensus, sehingga dinas akan tahu sekolah yang nilainya tinggi dan rendah," katanya.
Menurutnya, ketika survei tersebut dilakukan, maka hasilnya akan terlihat mana sekolah yang bagus ataupun tidak.
"Akan ada pelabelan lagi sekolah yang bagus, sekolah yang jelek," ungkapnya.
"Ini akan memberi tekanan pada guru dan siswa, untuk ujian nasional sekarang," lanjut Anindito.
Sebelumnya, Pengamat Pendidikan, Budi Trikorayanto mengatakan penggantian UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu lebih baik.
Perubahan program pendidikan dari Nadiem Makarim itu, Budi Trikorayanto mengatakan pasti lebih baik, karena sudah dilakukan beberapa kajian.
"Saya kira setiap perubahan sudah melalui kajian-kajian, dan pasti itu lebih baik," ujar Budi di Studio Menara Kompas, Rabu (11/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Menurut Budi, program pengganti UN itu bertujuan untuk memberi kemerdekaan untuk guru dan dunia pendidikan.
"Lebih baik, karena ini dalam rangka untuk memerdekakan guru dan pendidikan," jelasnya.
Budi menyebut, dengan adanya pelaksanaan UN, guru dan pihak sekolah hanya fokus mempersiapkan UN saja.
"UN itu selama ini sudah membuat disorientasi pendidikan, sehingga guru dan sekolah fokusnya hanya ke UN," katanya.
Saat UN masih menjadi syarat kelulusan beberapa tahun yang lalu, menurut Budi, pelaksanaan UN waktu itu menjadi politik pendidikan.
"Apalagi ketika UN menjadi tolak ukur kelulusan, dan itu menjadi politik pendidikan daerah," lanjut Budi.
"Harusnya melihat UN itu bagian dari standar penilaian," imbuhnya.
Sementara, Nadiem Makarim menegaskan, perencanaan program Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter sudah sesuai standar.
Sehingga Nadiem Makarim dengan tegas menyampaikan di hadapan Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) Komisi X, bahwa keputusan itu ada landasannya.
"Mohon diyakinkan bahwa Kemendikbud tidak akan membuat keputusan seperti ini, tanpa ada basisnya, tanpa ada standarnya," ujar Nadiem Makarim di Ruang Rapat DPR Komisi X, Kamis (12/12/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Nadiem menjelaskan, program tersebut disusun oleh Kemendikbud berdasarkan inspirasi dari program asesmen seluruh dunia.
"Kita telah menarik inspirasi dari berbagai Asesmen dari seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia," jelas Nadiem.
Kemendikbud telah bekerja sama dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yang diadakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Selain itu, Nadiem mengatakan, Kemendikbud juga bekerja sama dengan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), untuk membuat program tersebut.
"Kita bekerja sama dengan berbagai macam organisasi, dengan organisasi yang membuat PISA yaitu OECD, dan TIMSS juga," ungkap Nadiem.
Kedua organisasi Asesmen itu, menurutnya, semuanya berdasarkan penilaian secara murni untuk kemampuan logika siswa.
"Semuanya meng-ases secara murni kompetensi bernalar," katanya.
"Artinya konten daripada Asesmen Kompetensi, itu sangat sulit di bimbelkan," lanjut Nadiem.
Senada dengan Nadiem Makarim, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menilai Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang menggantikan ujian nasional (UN) 2021 sebagai program yang bagus.
Menurut Retno, nantinya sistem pendidikan di Indonesia tidak perlu lagi menerapkan hafalan bagi siswa.
"Asesmen itu sebenarnya bagus ya, pertama kalinya sistem pendidikan di Indonesia tidak pakai hafalan," ujar Retno Listyarti, dikutip dari YouTube Kompas TV, Kamis (12/12/2019).
Retno mengungkapkan, jika penggantian UN itu diterapkan, maka untuk pertama kalinya Indonesia menerapkan sistem pendidikan berdasarkan logika siswa.
Penerapan sistem pendidikan berdasarkan logika ini, menurut Retno lebih bagus.
"Tetapi pendidikan di Indonesia, pertama kalinya nalar itu dihargai, bahkan nalar itu didorong, ini bagus," jelasnya.
Namun, Retno menyebut program penggantian UN itu harus sesuai dengan kondisi sekolah di Indonesia, terutama para guru.
"Problem-nya adalah, niat yang bagus ini harus melihat kondisi lapangan," ungkap Retno.
"25 tahun dari hasil riset, menunjukan bahwa guru-guru Indonesia itu mengajar dengan tidak berubah selama 25 tahun terakhir," jelasnya.
(Tribunnews.com/Nuryanti)