Bukan Gaji Bulanan, Pemerintah Ingin Karyawan Diupah Per Jam, Dinilai Lebih Menguntungkan?
Hal ini mengingat wacana sistem penggajian ini tertuang dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah mengatakan, skema terkait dengan perubahan upah dari aturan baku per bulan menjadi per jam di Indonesia sangat menguntungkan pekerja produktif.
Hal ini mengingat wacana sistem penggajian ini tertuang dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
"Sistem ini saya kira lebih disukai oleh pengusaha dan pekerja yang produktif karena sistem ini akan lebih menghargai produktivitas pekerja karena dihitung berdasarkan jam kerja," kata Pieter kepada Kompas.com, Jumat (27/12/2019).
Baca juga: Serikat Buruh Tolak Sistem Upah Per Jam, Ini Alasannya
Baca: Pemerintah Ingin Gaji Bulanan Karyawan Diganti dengan Upah Per Jam, Ini Keterangan Menaker
Namun demikian Pieter menjelaskan butuh pemahaman dalam skema penggajian ini. Menurutnya, skema ini bukan berarti pekerja dibayar setiap jam, tapi mungkin berdasarkan hitungnya adalah perjam.
Sementara sistem pembayarannya bisa dilakukan setiap minggu atau juga setiap bulan.
Pieter mengungkapkan, meski masih sebatas wacana. Kedepannya hal ini akan menjadi perdebatan, mengingat masalah nominal yang akan diterima oleh pekerja jika dihitung berdasarkan jam.
"Meskipun demikian, saya kira wacana ini tidak akan membuat pembahasan tentang upah antara pengusaha dan buruh menjadi lebih mudah. Pada akhirnya tetap akan jadi perdebatan berapa tingkat upah per jam yang bisa disepakati," jelas Pieter.
Menurut Pieter, wacana ini muncul pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak baik perusahaan maupun tenaga kerja.
"Kalau jam kerjanya kurang, upahnya juga berkurang," jelasnya.
Skema gaji tetap yang ada seperti saat ini, pada dasarnya merugikan bagi pekerja produktif karena perusahaan memberikan gaji tidak berdasarkan jumlah masuk hari kerja.
Misalkan saja pekerja yang masuk dalam sebulan penuh tanpa absen dan pekerja yang masuk dengan beberapa ketidakhadiran (absen) dalam sebulan akan diberikan nominal yang sama oleh perusahaan.
Sementara itu, dengan sistem upah per jam, maka upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerja.
Maka dari itu, menurut Pieter pemerintah perlu memastikan dengan benar terkait dengab kepentingan perusahaan dan kepentingan pekerja. Hal ini agar dua belah pihak dapat bersinergi dan saling menguntungkan.
"Terlepas dari sistem yang mana yang dipakai, apakah upah per bulan atau per jam, pemerintah perlu memastikan menengahi tarik menarik kepentingan antara pengusaha dan buruh," ungkapnya.
Adapun caranya dengan duduk sama-sama dan meminta pendapat yang mengedepankan kesejahteraan buruh serta berupaya meningkatkan produktivitas perusahaan. Dengan begitu, maka aturan tidak berat sebelah.
"Pemerintah tidak boleh berada di satu pihak. Yang harus dikedepankan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas sekaligus kesejahteraan buruh. Hanya dengan cara itu maka kedua pihak bisa sepakat," tegasnya.
Wacana pemerintah
Diberitakan sebelumnya, pemerintah saat ini tengah mengkaji sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan seperti fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen maupun PHK.
Hal itu akan diatur dalam RUU Omnibus Law.
Soal upah, selalu jadi perdebatan setiap tahunnya di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan penetapan upah minimum di sejumlah daerah.
Terbaru soal upah minimum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan.
Dimana formula kenaikan upah didasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengatasi perdebatan yang terjadi setiap tahun itu, pemerintah tengah menggodok alternatif sistem pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas yang akan dimasukan dalam beleid omnibus law.
Baca: Anak Buah Presiden Jokowi Ini Koleksi Mobil dari Jaguar sampai Land Cruiser
Pembahasan omnibus law atau revisi undang-undang terkait perpajakan dan ketenagakerjaan masih berlangsung.
Target penyerahan omnibus law ke DPR yang tadinya bakal dilakukan pada akhir tahun ini pun molor jadi paling lambat awal tahun depan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, salah satu hal yang membuat alotnya pembahasan omnibus law yakni karena sulitnya mempertemukan kepentingan pengusaha dan buruh atau tenaga kerja.
"Memang tidak gampang, butuh waktu, pasti mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja itu bukan hal yang gampang," ujar Ida seperti dikutip Kompas.com, Rabu (25/12/2018).
Salah satu yang tengah dikaji yakni sistem upah berdasarkan jam. Saat ini dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama.
Sementara dengan upah per jam, upah yang diterima diterima pekerja sesuai dengan jam kerja.
Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju.
Ida menjelaskan, saat ini kementeriannya masih dalam proses inventarisasi dan mendengarkan masukan dari buruh dan dunia usaha misalnya terkait upah minimum dan pesangon.
Selain itu juga dalam hal prinsip easy hiring dan easy firing yang sebelumnya sempat disebut oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Kami masih dalam proses menginventarisir dan mendengar," ujar Ida.
Adapun target penyelesaian draf omnibus law ketenagakerjaan dipastikan pada Januari 2020.
Sebelumnya, Menko Airlangga menjelaskan, di dalam omnibus law ketenagakerjaan pemerintah bakal merevisi beberapa aturan mengenai gaji dan pesangon, prinsip easy hiring dan easy firing, hingga kemudahan untuk merekrut tenaga kerja asing.
Baca: Ada 17 UU Atur Jalannya Investasi di Laut, Mahfud MD Bertemu Luhut Bahas Omnibus Law Keamanan Laut
Selain itu, di dalam omnibus law juga bakal memperlonggar aturan mengenai fleksibilitas jam kerja.
"Ini masih dibahas Kemenaker, belum final. Termasuk dengan upah, tapi pembahasan belum final," ujar dia.
Airlangga sendiri menjelaskan, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja baru akan diajukan kepada DPR pada Januari 2020 mendatang.
Kemudahan tenaga asing
Airlangga menuturkan, RUU itu masih dibahas bersama Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah dan beberapa isu lainnya soal gaji, isi hiring, isi firing, dan beberapa isu di UU Ketenagakerjaan.
Nantinya bila disahkan, tenaga kerja asing atau ekspatriat bisa masuk dan bekerja tanpa birokrasi yang berbelit-belit dan panjang.
"Tentunya beberapa hal yang sudah dibahas isi hiring dan isi firing terkait dengan tenaga kerja asing terutama mengenai perizinin agar tenaga kerja ekspatriat itu bisa masuk tanpa birokrasi yang panjang," kata Airlangga.
Selain itu, pihaknya masih membahas sejumlah aturan meliputi definisi jam kerja, pembedaan fasilitas antara UMKM yang basisnya adalah kesepakatan kerja dengan hak-hak yang dijamin.
"Kemudian terakhir yang dibahas adalah jenis-jenis pengupahannya dimungkinkan berbasis perhitungan jam kerja atau perhitungan harian. Itu yang kami bahas," ucap dia.
Sebagai informasi, Omnibus Law bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan mendorong investasi. Selama ini, hambatan utama dalam peningkatan investasi dan daya saing adalah terlalu banyaknya regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Melalui RUU tersebut, pemerintah akan merevisi 82 UU yang terdiri dari 1.194 pasal.
RUU omnibus law akan terbagi dalam 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, serta kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM.
Selanjutnya klaster dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
SUMBER: KOMPAS.com (Fika Nurul Ulya, Mutia Fauzia) | Editor: Yoga Sukmana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.