Jokowi Bentuk Jabatan Baru, Dinilai Tambah Anggaran, Pangi: Publik Wajib Dapat Informasi yang Jelas
Pangi menuturkan, penambahan jabatan bisa menambah beban anggaran. Oleh karena itu, pemerintah harus menjelaskan kebijakannya lebih jelas pada publik.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menanggapi keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menambah jabatan baru Wakil Kepala Staf Kepresidenan.
Menurut Pangi, penting bagi pemerintah untuk menjelaskan manfaat, tugas, dan fungsi dari masing-masing jabatan baru yang dibentuk kepada masyarakat supaya publik tidak mudah mencurigainya.
Pasalnya, Pangi menuturkan, bagaimana pun itu, penambahan jabatan atau nomenklatur baru yang bertugas membantu kinerja presiden tentunya akan menambah beban anggaran negara.
"Penambahan jabatan atau nomenklatur baru untuk penyokong kinerja presiden pasti akan menambah beban anggaran, juru bicara presiden harus clear menjelaskan ke publik asbabul nuzul urgensi adanya jabatan baru ini," tutur Pangi dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Selasa (31/12/2019).
Pangi menegaskan, publik harus mendapat informasi yang jelas mengenai kebijakan ini.
"Publik wajib mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap termasuk rasionalisasi atas kebijakan tersebut," tegasnya.
"Karena ini sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah ke publik," sambung Pangi.
Ia menuturkan, jangan sampai penambahan jabatan baru yang dilakukan presiden menjadi bagian dari upaya politik akomodasi semata.
Terlebih jika penambahan posisi tersebut sebenarnya tidak memiliki korelasi linear terhadap peningkatan kinerja.
Penambahan jabatan tersebut justru akan menjadi pemborosan keuangan negara.
"Presiden harus menghindari menambah jabatan sebagai bagian dari upaya politik akomodasi semata," tutur Pangi.
"Boleh jadi tidak begitu penting penambahan posisi tersebut karena tidak punya korelasi linear terhadap peningkatan kinerja, yang ada hanya pemborosan keuangan negara," sambungnya.
Pangi juga menuturkan, jika benar Jokowi menjalankan politik akomodasi artinya presiden sedang dalam posisi yang lemah.
"Jika akomodasi politik lebih diutamakan ketimbang urgensi maka sesungguhnya presiden berada pada posisi yang lemah dan tidak mampu berkutik, menghindar, atau melawan tekanan politik," tuturnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.