Soal Banjir Jakarta, Fahri Hamzah: Lebih Mudah Diselesaikan oleh Kebijakan Presiden
Fahri meyakini, permasalahan banjir dan macet di Jakarta akan lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden dibanding gubernur.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menanggapi permasalahan banjir yang kerapkali melanda Jakarta.
Fahri meyakini, permasalahan banjir dan macet di Jakarta akan lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden dibanding gubernur.
Hal itu ia sampaikan dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya, @Fahrihamzah, Kamis (2/2/2019).
"Saya juga percaya bahwa masalah Jakarta; khususnya banjir dan macet lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur...
tapi kalau keduanya bersatu tentu lebih cepat lagi selesainya. Semoga." tulis Fahri di Twitternya.
Lebih lanjut, Fahri menuturkan, rakyat akan mengharapkan jabatan besar untuk mengatasi permasalahan yang tidak dapat diatasi oleh jabatan yang lebih kecil.
Menurut Fahri, sudah bukan waktunya para pejabat politik bertengkar karena rakyat tak punya urusan di sana.
"Kalau ada masalah besar dan jabatan kecil gak sanggup, rakyat berharap negara menggunakan jabatan besar...
rakyat tdk punya urusan dgn pertengkaran politik pejabat.
Kepentingan rakyat adalah keselamatan dan keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, seperti kata Cicero," terangnya.
Fahri melihat, rakyat selalu mempertanyakan mengapa selalu terjadi banjir.
Sementara itu, sudah banyak pula yang menjajikan solusi pada rakyat, termasuk presiden.
Namun, hingga kini rakyat masih terus mempertanyakan hal yang sama.
"Kan rakyat bertanya, kenapa musim hujan kita kebanjiran terus?
Ada banyak cara menghibur rakyat tapi pertanyaan rasionalnya kan harus dijawab, 'Apakah Jakarta dan banjir adalah nasib kita?'
Sudah banyak yg menjanjikan solusi termasuk presiden.
Tapi pertanyaan rakyat tetap sama," tutur Fahri dalam unggahan Twitternya.
Fahri pun berharap para pejabat lebih terbuka dalam menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi.
Menurutnya, hal itu lebih baik dibanding harus saling menyalahkan saat terjadi bencana banjir seperti saat ini.
Fahri juga membagikan pengalamannya saat menjadi Ketua Tim DPR untuk penanggulangan gempa di NTB, Sulawesi, Banten, hingga Lampung.
"Maka, daripada kita saling menyalahkan lebih baik para pejabat terbuka ttg apa yang sebenarnya terjadi.
Saya sendiri pernah menjadi ketua Tim DPR untuk penanggulangan musibah Gempa NTB, Sulawesi, Banten dan Lampung.
Kalau melihat polanya, masalahnya sama dan sudah saya laporkan," jelasnya.
Menurut Fahri, dalam hal ini terdapat sejumlah persoalan yang terjadi.
Persoalan tersebut di antaranya adalah lemahnya kemampuan membaca gambaran besar persoalan, ketiadaan rencana jangka panjang, hingga masalah kepemimpinan.
"Kalau boleh diringkas; masalah pertama adalah, lemah kemampuan membaca gambar besar persoalan.
Kedua, ketiadaan rencana jangka panjang.
Ketiga, kelemahan Kordinasi dan kekompakan.
Keempat, kepemimpinan dan yang terakhir adalah kecepatan dan ketepatan.
Anggaran ada, SDM cukup," terang Fahri.
Lebih lanjut, Fahri menyampaikan, banjir di tiga provinsi di Indonesia (Jakarta, Jawa Barat dan Banten) mampu diselesaikan dengan satu syarat, yaitu kerendahan hati untuk bersatu membaca persoalan bersama.
Fahri pun menawarkan laporan yang pernah dibuatnya untuk menuntaskan banjir di tiga provinsi tersebut.
"Maka, kalau mau menuntaskan banjir di 3 propinsi ini dan di INDONESIA secara umum, kita bisa menggunakan laporan yang saya pernah buat.
Dan itu hanya memerlukan 1 saja syarat: kerendahan hati untuk bersatu membaca persoalan bersama.
Terutama dari yang paling kuat. Itu saja," jelas Fahri.
Masih dalam cuitannya di Twitter, Fahri menuturkan sudah lama membayangkan perencanaan yang terintegrasi pada tiga provinsi, yang terdiri atas Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, dengan pemerintah pusat.
"Tanpa itu, kita akan terjebak saling menyalahkan, sebab 3 propinsi ini adalah kawasan yang saling berketergantungan satu sama lain," tulisnya.
Menurutnya, untuk menopang ketiga provinsi tersebut, Lampung semestinya mulai diikutsertakan dalam perencanaan kawasan.
"Bahkan untuk menopang 3 propinsi ini, seharusnya Lampung mulai diikutkan dalam perencanaan kawasan.
Dulu zaman pak SBY ada yang ingin bikin jembatan Selat Sunda sekitar 30 KM, banyak yang gak percaya tapi sekarang jembatan penghubung Makau-Zuhai-Hongkong sudah sepanjang 55 KM," jelas Fahri.
Fahri menegaskan, selain integrasi konsep kenegaraan, provinsi dan kota di Indonesia memang sudah seharusnya direncanakan integrasinya secara fisik.
Dalam kerangka itu, Fahri menuturkan, presiden dan DPR bisa membuat regulasi yang memaksa kawasan tertentu untuk mengikuti konsep besar integrasi kawan tersebut.
"Jawa dan Sumatera seharusnya disambung agar pergerakan penduduk ke luar Jawa khususnya ke pulau Sumatera yang lebih besar dan lebih kosong dapat terjadi secara mudah.
Disertai pembangunan transportasi sampai ke Sabang maka mobilitas ke barat akan semakin cepat dan mudah," kata Fahri.
Selain itu, menurut Fahri, ide memindahkan ibu kota ke pulau Kalimantan juga harus diletakkan dalam kerangka integrasi kawasan.
Ia mengatakan, hanya dengan konsep tersebut pemindahan ibu kota relevan.
"Sementara itu karena infrastrukturnya belum memadai, dikhawatirkan pemindahan itu akan kurang efektif menjawab kebutuhan," tambahnya.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan, Papua memiliki permasalahan yang lebih pelik.
Di luar masalah politik dan integrasi, dalam ekonomi, sumber kemiskinan di Papua bukanlah banjir melainkan ketimpangan di banyak sektor.
Sektor yang dimaksud di antaranya yaitu pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.
"Kita harus menghidupkan jalur Pasifik, Biak harus kembali dibuka sebagai jalur penerbangan internasional seperti zaman pak Harto dulu.
Negara-negara Pasifik sedang berkembang dan Papua adalah salah satu pulau terbesar di pasifik selatan bersama Australia dan NewZealand.
Papua bukan Asia," lanjutnya.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta Adya Irani)