Kemenlu Pastikan Kapal Asing Sudah Pergi dari ZEE Indonesia
Kementerian Luar Negeri RI menyebut kapal asing sudah pergi dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri RI menyebut kapal asing sudah pergi dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Ini disebut-sebut sebagai keberhasilan patroli Indonesia yang mengerahkan kapal perang.
"Saya mendapat kabar bahwa kapal ikan asing sudah meninggalkan ZEE Indonesia. Artinya peningkatan patroli Indonesia di sana (Natuna) membuahkan hasil," ujar Plt Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, Senin (13/1/2020).
Menurut Faizasyah, patroli serta diplomasi merupakan satu rangkaian yang sama dalam menegakkan Indonesia berdaulat di ZEE Indonesia.
"Diplomasi dan pengaktifan patroli merupakan satu mata rantai kebijakan penegakan kedaulatan pemerintah Indonesia di wilayah laut (territorial waters), ZEE dan landas kontinen," ujar Faizasyah.
Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswari Pramodhawardani menyebut pemerintah akan terus melakukan pengamanan di Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) di Natuna Utara.
"Terpenting bagaimana kita amankan wilayah kita, bagaimana lindungi nelayan kita, dan bagaimana penguasaan efektif dilakukan dengan kehadiran negara terus menerus di Natuna, baik soal kesejahteraan dan keamanan," kata Dani.
Menurut Dani, persoalan Indonesia dan China di perairan Natuna Utara masih akan terjadi ke depannya, sepanjang China tidak mengakui keputusan hukum internasional.
"Kita punya indikator atau ukuran-ukuran yang jelas berbeda. Kita sudah disahkan UNCLOS 82 dan kita tahu bahwa ini bahkan China pun ditolak soal klaim-klaim itu yang ketika di Filipina tahun 2016," tutur Dani.
Baca: Kerap Jadi Tempat Buronan Bersembunyi, Singapura Belum Miliki Perjanjian Ekstradisi dengan Indonesia
Baca: Soal Natuna, Politikus PKS Ini Kurang Suka Dengan Kata Win Win Solution
"Jadi sebetulnya kalau kita melihat persoalan ini kita tak perlu khawatir, bahwa ini pasti akan terjadi terus menerus. Hanya yang perlu dan penting kita lihat adalah bahwa soal kedaulatan kita tidak pernah bernegosiasi," sambung Dani.
Yang terpenting saat ini kata Dani adalah bagaimana Indonesia dapat mengamankan wilayah ZEE Natuna serta melindungi nelayan yang ada disana.
"Dan bagaimana penguasaan efektif dilakukan dengan kehadiran negara terus menerus di Natuna baik soal kesejahteraan dan keamanan," ujarnya.
Utang China
Politikus Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pemerintah tidak boleh lembek dalam menghadapi kembali masuknya kapal China ke perairan Natuna. Terutama hanya karena Indonesia berutang kepada China.
Dasco menilai utang bukan menjadi alasan untuk pemerintah tidak menegakkan kedaulatan di wilayahnya sendiri.
Ia secara tegas mengatakan jika perlu tak perlu berutang kepada China.
"Saya pikir (utang) bukan menjadi suatu alasan pemerintah tetap menegakkan kedaulatan di wilayah kita dan tidak takut hanya karena utang. Kalau perlu kita tidak usah utang kepada China," ujar Dasco.
Baca: Anggota Komisi I DPR RI Dorong Percepatan Omnibus Law Keamanan Laut
Baca: Diminta Keluar dari Perairan Natuna oleh Kapal TNI AL Indonesia, Kapal China: Jangan Intervensi Kami
Wakil Ketua DPR RI tersebut menilai pemerintah harus membicarakan langkah atau solusi dan alternatif jangka panjang untuk menghadapi masalah ini.
"Pemerintah perlu memikirkan langkah lebih tegas, baik dalam tindakan diplomasi maupun strategi khusus yang kelihatannya sedang dipersiapkan oleh menteri KKP dalam rangka mengatasi masalah itu," kata dia.
Disinggung perlu tidaknya pemerintah memanggil pulang duta besar Indonesia untuk China, Dasco mengatakan akan menyampaikan hal tersebut dalam rapat koordinasi.
"Saya pikir itu kita akan sampaikan dalam rapat koordinasi dengan pemerintah yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat antara DPR dan pemerintah," kata Dasco.
Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Abdul Kharis meminta wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk perairan Natuna dijaga 24 jam penuh.
"Bagi saya, kepada Bakamla mungkin juga minta alutsista TNI AL, untuk menjaga wilayah laut NKRI dengan baik. Full 24 jam harus dijaga, kalau dijaga mereka (China) nggak akan masuk," ujar Abdul.
Baca: Jokowi Pulang, Nelayan China Kembali Banjiri Perairan Natuna dengan Kapal Pukat Harimau
Baca: Ali Ngabalin Minta Fadli Zon Jaga Ucapan soal Natuna: Pakai Diksi yang Benar Supaya Terhormat
Pada prinsipnya, kata dia, perairan Indonesia wajib dijaga secara terus menerus dengan patroli. Apabila ada yang melintas kemudian dapat diusir.
Namun, ketika tidak ada penjagaan, Abdul menilai akan banyak pihak yang memanfaatkan celah tersebut. Salah satunya dengan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.
"Namanya maling, mau nyuri ikan kan melihat yang punya lengah atau nggak. Selama ini sesungguhnya banyak illegal fishing masuk ke perairan kita kalau nggak dijaga," kata dia.
Abdul juga menegaskan mendukung adanya penambahan anggaran untuk Bakamla untuk mengantisipasi masalah seperti di perairan Natuna.
Pasalnya, kata dia, masalah tersebut adalah masalah sipil. Sehingga pemerintah akan disalahkan apabila menerjunkan TNI AL untuk mengatasi masalah itu.
"Jika diusulkan (penambahan anggaran Bakamla), kita dukung. Melihat risiko dan dampaknya seperti ini. Kalau kita menggunakan angkatan laut ya nggak boleh, karena permasalahannya ini coast guard. Ini masalah sipil bukan perang, kalau dengan AL kita yang salah," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi PKS Sukamta menyoroti soal aturan keamanan kelautan Indonesia yang tumpang tindih.
Ia mengatakan, terdapat 24 Undang-undang ditambah 2 Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur soal keamanan laut. Namun, kesemuanya itu tidak menyebut secara spesifik tugas dan kewenangan dalam menjaga laut.
Terlebih, munculnya sejumlah kapal asing yang dikawal oleh kapal coast guard China di perairan Natuna Utara.
"Ketika belum ada Bakamla yang kita lakukan adalah semua patroli dilakukan oleh TNI AL dan itu akan menjadi problematik ketika TNI AL ini sifatnya militer. Maka muncullah Bakamla," kata Sukamta.
"Jadi agensinya banyak sekali yang mengatur keamanan laut. Tetapi tugasnya tidak pernah jelas, jadi multiagency tidak jelas statusnya," tambahnya.
Maka dari itu, ia berharap ada terobosan cepat pemerintah terkait soal itu. Sukamta juga mendukung langkah pemerintah yang mulai membahas soal Omnibus Low.
"Ini momentum yang bagus untuk membenahi peraturan perundangan-undangan tentang kemanan laut kita," ucapnya.
"Siapa sih sebetulnya yang kita tugasi untuk keamanan laut kita ini. TNI AL, Polisi Air, Bea Cukai atau Bakamla. Siapa yang menjadi garda terdepannya. Leading sektornya itu siapa?" jelas Sukamta. (Tribun Network/dit/sen/yud/kps/wly)