DKPP: Ketua dan Anggota KPU RI Terkesan Membiarkan Wahyu Setiawan Bertemu Peserta Pemilu
Anggota DKPP Ida Budhiati menyinggung enam komisioner KPU RI terkesan lepas tangan terhadap peristiwa pertemuan Wahyu Setiawan dengan peserta Pemilu.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota majelis sidang merangkap anggota DKPP Ida Budhiati menyinggung enam komisioner KPU RI terkesan lepas tangan terhadap peristiwa pertemuan Wahyu Setiawan dengan peserta Pemilu.
Dalam sidang agenda pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Wahyu Setiawan, teradu terbukti bertemu dengan peserta Pemilu di luar kantor Sekretariat Jenderal KPU RI dan berujung penangkapan atas dugaan menerima suap.
Hal tersebut masuk dalam kategori pelanggaran pasal 8 huruf l Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku.
Bunyinya, menghindari pertemuan yang dapat menimbulkan kesan publik adanya pemihakan dengan peserta Pemilu.
Baca: DKPP: Sikap Wahyu Setiawan yang Berpihak dan Partisan Terhadap Parpol Bentuk Pengkhianatan Demokrasi
"Terhadap tindakan terkait, ketua dan anggota KPU RI terkesan melakukan pembiaran tanpa berusaha mencegah," kata Ida dalam sidang DKPP di lantai 5, Jalan MH Thamrin Nomor 14, Jakarta Pusat pada Kamis (16/1) siang.
Adapun ketentuan ini lebih lanjut diterjemahkan dalam pasal 75 aayt (1) huruf g PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Taya Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
"Yang menegaskan, larangan untuk tidak melakukan pertemuan dengan peserta Pemilu, tim kampanye di luar Sekretariat Jenderal KPU RI merupakan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu," tutur Ida.
Baca: Ditanya Dimanfaatkan Soal UU KPK, Tumpak Hatorangan Akui Memikirkan Potensi Bocor Penyadapan
Berkenaan dengan hal tersebut, DKPP mengingatkan kepada ketua dan anggota KPU RI untuk menciptakan sistem pengendalian internal sesuai Peraturan DKPP Nomor 2/2017 dan PKPU Nomor 8/2019, guna mencegah peristiwa semacam ini terjadi di kemudian hari.
"Terkait hal tersebut DKPP perlu mengingatkan pihal terkait ketua dan anggota KPU RI untuk mengefektifkan sistem pengendalian internal," kata Ida.
Penjelasan Wahyu Setiawan soal kata 'Siap Mainkan'
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengaku ada salah tafsir mengenai kode 'Siap Mainkan' seperti yang diungkapkan KPK.
Hal itu diungkapkan dalam sidang etik DKPP yang disiarkan secara live di akun Facebook @medsosdkpp, Rabu (15/1/2020) sore.
"Pada saat PDIP yang memberi informasi kepada saya bahwa akan bersurat kepada KPU, saya menjawab 'siap mainkan'," kata Wahyu.
Baca: DKPP Tentukan Nasib Wahyu Setiawan Besok
Surat ketiga dari PDIP itu dikirimkan lagi-lagi meminta KPU memasukan nama Harun Masiku menggantikan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih.
Lantas, Wahyu menghubungi stafnya untuk menerima surat tersebut.
Adapun jawaban 'Siap Mainkan' bukan bermaksud untuk kode tertentu.
Istilah itu sudah biasa ia ucapkan untuk menindaklanjuti sesuatu.
Baca: Bawaslu Beberkan Alasan Sidang Kode Etik Komisioner KPU Wahyu Setiawan Dipercepat
"Maksud saya, surat yang dikirim ke KPU kemudian ditindaklanjuti pada waktu itu. Saya tidak ada di kantor, saya menghubungi staf saya, saya mengabari ada surat dari PDIP, tolong diterima," kata Wahyu.
Ia mengaku belum menerima secara fisik surat dari PDIP itu.
Surat baru ia terima dalam bentuk salinan yang dikirimkan lewat aplikasi pesan WhatsApp.
"Jadi sampai peristiwa itu saya hanya terima di WA, tetapi secara fisik saya tidak pernah memegang sekali lagi," kata Wahyu.
Pengakuan Wahyu Setiawan
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengakui dalam posisi yang sulit menanggapi permintaan PDIP memasukkan nama Harun Masiku sebagai caleg terpilih.
Saeful, seorang staf Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto adalah kawan dekatnya.
"Saya dalam posisi yang sulit karena orang-orang ada Mbak Tio, Mas Saeful, Mas Doni itu kawan baik saya," kata Wahyu Setiawan dalam sidang etik DKPP yang digelar di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020).
Baca: Soal Taji KPK, Nurul Ghufron: KPK Eksis Sampai Saat Ini!
Dua nama Agustiani Tio Fridelina dan Saeful selaku penyuap sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Diketahui, para tersangka kerap mengajak bertemu di luar kantor untuk membahas PAW Harun Masiku.
"Saya sudah menjelaskan dan saya tidak, tidak, tidak. Pandangan Mas Hasyim (komisioner KPU) sama dengan pandangan saya itu tidak bisa," kata Wahyu.
Baca: Wahyu Setiawan Bakal Kooperatif Saat Jalani Sidang Pelanggaran Etik
Wahyu mengakui dalam berkomunikasi dengan para penyuapnya, dirinya sulit membedakan antara hubungan kawan dekat dan pekerjaan.
Namun, dalam sidang tadi Wahyu enggan menjelaskan detail materi yang masuk pokok perkara penyidikan di KPK.
"Tetapi memang dalam berkomunikasi mungkin karena saya teman lama Bu Tio orang yang saya hormati dan saya anggap kakak saya sendiri. Jadi saya sangat sulit situasinya," jelas Wahyu.
Baca: Kode Inisiatif: Kasus Wahyu Setiawan Jangan Dimanfaatkan Parpol Dorong Pemilu Tak Langsung
KPK menangkap tangan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Rabu (8/1/2020).
Wahyu Setiawan diduga menerima suap untuk mengupayakan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif (caleg) PDIP Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatra Selatan Harun Masiku.
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus itu.
Wahyu dan orang kepercayaannya sekaligus mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina, menjadi tersangka penerima suap.
Kader PDIP Harun Masiku dan pihak swasta, Saeful, menjadi tersangka penyuap.
Saeful diduga menjadi staf di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP.
Seperti diketahui, Harun melakukan penyuapan agar Wahyu bersedia memproses pergantian anggota DPR RI melalui mekanisme PAW.
Baca: KPK Janji Tak Akan Berhenti Mengejar Harun Masiku
Upaya itu, dibantu mantan Anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina dan seorang kader PDIP, Saeful Bahri.
Wahyu diduga telah meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun untuk dapat memuluskan tujuannya. Permintaan itu pun dipenuhi oleh Harun.
Namun, pemberian uang itu dilakukan secara bertahap dengan dua kali transaksi yakni pada pertengahan dan akhir bulan Desember 2019.
Pemberian pertama, Wahyu menerima Rp200 juta dari Rp400 juta yang diberikan oleh sumber yang belum diketahui KPK. Uang tersebut diterimanya melalui Agustiani di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Kedua, Harun memberikan Rp850 juta pada Saeful melalui stafnya di DPP PDIP.
Saeful kemudian memberikan Rp150 juta kepada Doni selaku advokat.
Adapun sisanya Rp700 juta diberikan kepada Agustiani, dengan Rp250 juta di antaranya untuk operasional dan Rp400 juta untuk Wahyu.
Namun upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin tak berjalan mulus.
Hal ini lantaran rapat pleno KPU pada 7 Januari 2020 menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW.
KPU bertahan menjadikan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin.
Meski demikian, Wahyu tak berkecil hati. Dia menghubungi Doni dan menyampaikan tetap berupaya menjadikan Harun sebagai PAW.
Untuk itu, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta uang yang diberikan Harun kepada Agustina.
Namun saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu, penyidik KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk Dolar Singapura.
Atas perbuatannya, Wahyu kini resmi ditahan di rutan Pomdam Jaya Guntur dan Agustiani Tio Fridelina ditahan di rutan K4 yang berada tepat di belakang Gedung Merah Putih KPK.
Adapun tersangka Saeful selaku terduga pemberi suap ditahan di rutan gedung KPK lama Kavling C1, sedangkan kader PDIP Harun Masiku masih buron.
Sebagai pihak penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Harun dan Saeful selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.