Soal Skandal di Asuransi Jiwasraya, Ini Paparan Lengkap SBY
Saya mulai bertanya... apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi?
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
Perlu dilakukan investigasi siapa saja yang menyebabkan jebolnya keuangan BUMN tersebut. Benarkah hanya 5 orang sebagaimana yang diduga oleh kejaksaan agung kita? Adakah aktor intelektual yang bekerja “di belakang”? Hal ini sangat penting agar negara tidak salah mengadili dan menghukum seseorang.
Arena 4: Apakah memang ada uang yang mengalir dan digunakan untuk dana politik (pemilu)?
Investigasi ini penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan dan praduga kalangan masyarakat bahwa dalam kasus Jiwasraya ini dicurigai ada yang mengalir ke tim sukses Pemilu 2019 yang lalu. Baik yang mengalir ke partai politik tertentu maupun tim kandidat presiden. Tuduhan ini persis dengan yang saya alami ketika dilakukan “bail-out” Bank Century dulu. Karenanya, untuk membersihkan nama baik partai politik tertentu dan Presiden Jokowi sendiri, penyelidikan tentang hal ini patut dilakukan. Biar gamblang, dan rakyat mendapatkan jawabannya. Saya pribadi tidak yakin kalau Pak Jokowi sempat berpikir agar tim suksesnya mendapatkan keuntungan dari penyimpangan yang terjadi di Jiwasraya tersebut.
Arena 5: Berapa uang rakyat yang mesti dijamin & dikembalikan?
Salah satu penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya adalah agar rakyat atau peserta asuransi di korporat tersebut tidak dirugikan. Mereka tidak bersalah. Uangnya harus dijamin dan dikembalikan pada saatnya. Apalagi “korban” Jiwasraya juga berasal dari negara lain (Korea Selatan) sebanyak 474 nasabah dengan nilai 574 miliar rupiah. Kalau tidak ada jaminan yang pasti, dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan para nasabah asuransi di Indonesia secara keseluruhan. Juga akan merusak kepercayaan pasar, baik domestik mupun internasional, terhadap sistem dan pengelolaan keuangan di negeri kita.
Arena 6: Adakah kaitan dan persamaan modus kejahatan kasus Jiwasraya dan kasus-kasus lain?
Pengungkapan di arena ini sangat penting. Baik investigasi parlemen maupun hasil kerja lembaga audit dan penegak hukum harus mampu mengungkapnya. Apakah memang ada kaitan dan kesamaan modus kejahatan yang terjadi di Jiwasraya dengan BUMN-BUMN yang lain jika kelak ditemukan? Kalau memang tidak ada atau tidak ditemukan, kita bisa menghela nafas dengan lega. Alhamdulillah. Namun kalau ada, krisis ini menjadi sangat serius. Mengapa? Sangat mungkin keseluruhan penyimpangan ini merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dengan para “arsitek” yang bekerja di belakangnya. Kalau mimpi buruk ini adalah kenyataannya, memang negara harus melakukan “bersih-bersih” secara total.
Arena 7: Bagaimana solusi & penyelesaiannya ke depan?
Solusi ke depan harus dilakukan secara menyeluruh. Yang perlu diperbaiki bisa menyangkut pemberian sanksi hukum kepada para pelakunya; penyehatan kembali keuangan korporat; serta pemberian jaminan dan pengembalian uang milik nasabah. Ke depan harus ditingkatkan kepatuhan kepada undang-undang, sistem dan aturan; “judgement” jajaran manajemen yang jauh lebih baik; serta pengawasan yang lebih seksama dari otoritas jasa keuangan, parlemen dan pemerintah terhadap jajaran BUMN.
Khusus pemberian jaminan dan pengembalian uang nasabah (rakyat), saya menyarankan agar segera dibentuk Lembaga Penjamin Polis melalui sebuah undang-undang, agar didapat kepastian hukum untuk itu. Pemerintah memang terlambat menjalankan kewajibannya untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis tersebut. Kalau Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang saya tanda- tangani pada bulan Oktober 2014 dulu diindahkan dan dilaksanakan, maka paling lambat bulan Oktober 2017 kita sudah punya Lembaga Penjamin Polis. Namun, dalam suasana seperti sekarang ini tak perlulah pemerintah harus disalahkan secara berlebihan. Tak baik mengambil keuntungan politik ketika orang lain sedang susah. Tak ada pahalanya. Yang penting, pemerintah segera menerbitkan undang-undang dan membentuk Lembaga Penjamin Polistersebut.
Yang paling penting, uang yang raib yang jumlahnya sangat besar itu, termasuk potensi untuk kehilangan yang lebih besar lagi, harus diatasi. Harus ditutup lubangnya. Harus bisa disehatkan kembali kondisinya. Solusinya... ya pilih cara yang paling masuk akal, kredibel dan benar-benar menyelesaikan masalah. Bukan hanya untuk meredakan kegaduhan politik saat ini.
Namun, rakyat perlu pula memberi kesempatan kepada korporat dan pemerintah untuk menentukan kebijakan, strategi dan bentuk penyehatan kedua BUMN tersebut. Jangan apriori terlebih dahulu. Sangat mungkin pemerintah memiliki solusi yang “cespleng”. Kitapun juga bisa memberikan pandangan dan saran kepada pemerintah, jika pemerintah membuka diri untuk itu.
Yang penting apa yang hendak dilakukan pemerintah itu “sensible, doable, achievable and fundable”. Artinya masuk akal, bisa dilakukan, bisa mencapai sasaran dan bisa mendapatkan pendanaan. Ide untuk membentuk sebuah “holding company” dalam usaha asuransi dan dana pensiun tidak keliru. Yang penting, pastikan bahwa “net” keuangannya positif. Jangan karena sangat dipaksakan, malah semua BUMN menjadi tidak sehat keuangannya. Jika untuk menutup dan menyediakan dana yang dibutuhkan akan dicarikan dari investor, pastikan investor itu juga “kredibel” dan memang ada. Ingat, jebolnya Jiwasraya antara lain karena pertimbangannya serampangan (poor judgement). Jangan sampai penyelesaian krisis Jiwasraya ini tidak didasari oleh pertimbangan yang matang dan kuat. Jika DPR RI melakukan investigasi, perlu pula menguji dan mendalami apakah solusi yang hendak dijalankan oleh korporat dan pemerintah tersebut benar-benar kredibel.
Dewan Perwakilan Rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan investigasi (penyelidikan)
Nafas dan jiwa dari konstitusi kita adalah adanya prinsip “checks and balances” di antara lembaga-lembaga negara yang utama. Di antaranya, adalah antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya, agar tidak ada kekuasaan yang absolut tanpa dicheck atau diawasi oleh kekuasaan yang lain. Power must not go unchecked. Dalam kaitan krisis keuangan yang terjadi di Jiwasraya, yang berada dalam jajaran pemerintahan (eksekutif), maka sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang kita anut, DPR RI wajib melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Implementasinya, DPR RI bisa menggunakan haknya untuk mengetahui tentang apa, mengapa dan bagaimana penyimpangan di BUMN itu terjadi.
Mengingat besarnya angka kerugian negara serta kompleksitas dan keterkaitan antar lembaga yang terkait, maka agar lebih efektif hasilnya, DPR RI bisa menggunakan hak konstitusional yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, saya berpendapat DPR RI lebih tepat menggunakan hak angket agar penyelidikan dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Jika ingin kasus besar ini dapat diungkap secara gamblang, seraya membuktikan bahwa tidak ada keterlibatan elemen pemerintah dalam penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara belasan triliun rupiah itu, inilah kesempatannya. Karenanya, negara dan Presiden harus membuka diri dan mendukung dibentuknya Pansus dan penggunaan hak angket DPR RI, agar tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya dapat dibuktikan tidak benar. Di era saya dulu, ingat saya 4 kali DPR menggunakan hak angketnya.
Setuju, jangan terlalu dipolitisasi
Sejumlah kalangan mengatakan janganlah kasus Jiwasraya dan Asabri ini terlalu dipolitisasi. Saya sangat setuju. Meskipun, bagaimanapun tak mungkin hal begini akan terbebas sama sekali dari perbincangan politik.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Pansus dibentuk oleh DPR dan hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan atas “bail-out” Bank Century 10 tahun yang lalu. Politik kita luar biasa gaduhnya. Serangan kepada pemerintah dan tentunya saya sendiri juga sangat gencar. Ditambah pula dengan unjuk rasa yang marak, yang digelar di mana-mana. Teriakannya “turunkan SBY-Boediono!”. Sampai-sampai, yang berpikiran jernih berkomentar, sebenarnya kasus Bank Century ini soal hukum, ekonomi atau politik?
Saya jadi ingat pula, dulu pada periode pertama kepresidenan saya, teriakan para pengunjuk rasa adalah “Cabut Mandat SBY-JK”. Mengapa? Mereka, dan lawan-lawan politik saya, melakukan protes karena 3 kali pemerintah menaikkan harga BBM lantaran harga minyak dunia meroket. Padahal kenaikan itu diperlukan guna mengurangi subsidi BBM dalam APBN, dan untuk menyehatkan fiskal kita. Itupun pemerintah lakukan dengan tetap membantu kaum miskin dan tidak mampu (melalui “cash transfer”).
Kembali ke hiruk-pikuk “bail-out” Bank Century, secara jujur harus saya katakan bahwa kegaduhan politik yang melampaui batas itu tentu mengganggu stabilitas politik dan stabilitas sosial kita. Juga mengganggu konsentrasi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Menghadapinya, saya harus tetap bertahan dan harus memimpin jajaran kabinet seraya mengajak semua untuk kuat dan terus bekerja.
Pengalaman yang saya alami itu, melalui artikel yang saya tulis ini, tak perlu terjadi lagi. Tak perlu dialami orang lain. Tak perlu ada gerakan atau teriakan “turunkan Jokowi”. Ingat yang saya katakan sebelumnya ~ janganlah terlalu mudah memvonis atau menghakimi siapapun sebagai bersalah. Apalagi pemimpin kita, Presiden Republik Indonesia.
Dalam keadaan negara seperti ini jangan pula ada “penumpang gelap”, yang punya tujuan dan agenda tertentu. Jangan punya nafsu untuk menjatuhkan pemimpin dan pemerintahan di tengah jalan. Dulu hal begini beberapa kali saya alami. Kekuasaan harus didapatkan secara sah. Kalau tidak halal, Allah tidak akan merahmatinya. Kekuasaan harus didapatkan melalui pemilu. Itu jalan konstitusional yang disediakan oleh negara. Tentu saja pemilu ini harus benar-benar berlangsung secara jujur dan adil. Aparat negara harus netral. Tangan-tangan kekuasaan tak boleh bekerja di luar jalan pemilu yang harus “free and fair” itu.
Indonesia adalah negara hukum. Ada “rule of law”. Mari kita hormati. Rakyat harus menghormatinya. Tentu saja negara dan pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu dalam penegakan “rule of law” itu. Panglimanya hukum, bukan politik. Bukan kekuasaan. Kalau pemerintah tidak memberi contoh yang baik, sebaliknya melanggar dan menyepelekan pranata hukum ini, rakyat akan sangat terluka hatinya.
Ini momentum baik bagi koreksi besar dan perbaikan total
Penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya ini, atau mungkin masih ada lagi yang lain, adalah momentum baik yang disediakan oleh sejarah. Momentum untuk bersih-bersih. Momentum untuk koreksi dan perbaikan total.
Sangat mungkin yang melakukan penyimpangan dan menjalankan manajemen yang buruk juga terjadi di banyak perusahaan. Barangkali sejarah mengingatkan kepada kita semua, janganlah tidak patuh kepada konstitusi, undang-undang, sistem dan aturan yang berlaku. Janganlah kita meninggalkan prinsip-prinsip “good governance” dan “good corporate governance” yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Janganlah para pengawas dan lembaga audit permisif dan tidak sensitif terhadap tanda-tanda adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Janganlah kita bertindak tanpa pemikiran yang matang. Sebagaimana “wisdom” yang saya dapatkan di tanah Sunda (lebih dari separuh hidup saya, saya tinggal di Jawa Barat) yang mengajarkan ... jangan selalu berpikir dan bertindak “kumaha engke”. Tetapi, “engke kumaha”. Maknanya, berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan sebaliknya, gegabah dalam bertindak akhirnya menjadi masalah besar di hari kemudian.
Alhamdulillah, Tuhan masih menyediakan hari esok. Kalau ada kesalahan kita, misalnya apa yang terjadi di PT. Jiwasraya dan mungkin lembaga lain, yang punya dampak besar, mulai saat inilah kita lakukan perbaikan. Insya Allah kita bisa. Indonesia Bisa.
Cikeas, 27 Januari 2020.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.