Ketua KPU Dicecar Penyidik KPK Dugaan Cipratan Duit Harun Masiku
Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan Viryan Azis diperiksa penyidik di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan Viryan Azis diperiksa penyidik di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Keduanya diperisa sebagai saksi kasus suap yang melibatkan rekannya, Wahyu Setiawan dari caleg PDIP Harun Masiku, terkait penetapan calon anggota DPR terpilih 2019-2024 melalui Pergantian Antar-Waktu (PAW).
Untuk kasus tersebut, Arief diperiksa untuk penyidikan tersangka kader PDIP Saeful Bahri, yang disangkakan berperan menjadi perantara pemberian suap dari Harun untuk komiisoner KPU Wahyu Setiawan.
Arief diperiksa penyidik KPK sekitar tujuh jam dan dicecar 22 pertanyaan. Di antara pertanyaan penyidik mengenai ada atau tidaknya duit yang diterima Arief terkait upaya pemulusan caleg PDIP Harun Masiku menjadi anggota DPR terpilih melalui PAW.
"Enggak (ditanya soal pengetahuan mengenai aliran suap Wahyu). Cuma saya ditanya, 'Pak Arief terima juga enggak?' hahaha.., saya bilang enggak lah," kata Arief usai pemeriksaan.
Baca: Ketua KPU Arief Budiman Ikut Diperiksa KPK
Saat diperiksa tadi, Arief mengaku ditanya sebanyak 22 pertanyaan. Pertanyaan itu antara lain mengenai tugas dan kewenangannya sebagai ketua KPU.
Selain itu, Arief juga mengaku dicecar penyidik mengenai tupoksi (tugas pokok fungsi) serta hubungannya dengan Wahyu Setiawan dan komisioner KPU lainnya.
"Terkait dengan relasi saya kepada pak Wahyu, cara kerja saya, pak wahyu dan para anggota KPU," jelasnya.
Ia juga dicecar mengenai tanggapan KPU saat PDIP mengajukan caleg PDIP dari Sumatera Selatan I Harun Masiku untuk ditetapkan sebagai pengganti caleg Nazaruddin Kiemas yang meninggal.
Arief mengaku menjelaksan, hasil rapat KPU pada 31 Desember 2019 dan 7 Januari 2020 tetap menetapkan caleg PDIP lainnya, Riezky Arilia selaku peraih suara terbanyak kedua di Dapil Sumsel, sebagai caleg terpilih, menggantikan Nazaruddin Kiemas.
Hal itu dilakukan meski pihak PDIP menyertakan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu.
MA mengabulkan gugatan dari PDIP dan menetapkan bahwa partai adalah penentu suara dan pengganti antar waktu. "Siapapun bisa mengajukan PAW, tetapi pengajuan itu diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kami memproses sesuai aturan yang berlaku," ujar Arief.
Dasar hukum yang dipakai KPU adalah Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur penetapan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, lembaga penyelenggara pemilu itu juga berpegangan pada Pasal 242 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Aturan ini berbunyi, "Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama".
Arief mengaku tidak pernah berbicara dengan Wahyu Setiawan mengenai proses permintaan PDIP untuk PAW Harun Masiku.
Baca: Roy Suryo Sebut Ada Kejanggalan Rekaman CCTV Bandara soal Harun Masiku: Apa Jadinya Indonesia?
Selain itu, Wahyu dalam rapat-rapat komisioner KPU terkait hal itu juga tampak tak ngotot mendorong nama Harun Masiku untuk ditetapkan sebagai anggota DPR melalui PAW.
"Enggak, enggak ada. Enggak ada," tutur Arief.
Lebih kurang sama dengan Arief Budiman, Viryan Azis juga mengaku ditanya penyidik KPK soal proses PAW untuk Harun Masiku dari pengajuan PDIP.
"Seputar PAW (pergantian antarwaktu), penggantian calon terpilih dari Riezky Aprilia dengan Harun Masiku," ujar Viryan.
Ia menegaskan, saat itu KPU tidak bisa mengamini permintaan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas karena tidak sesuai perundangan-undangan.
Seluruh komisioner KPU mengetahui aturan itu, termasuk Wahyu Setiawan.
"Kami sama-sama berpendapat tidak ada hal yang berbeda. Jadi, semua anggota KPU RI berpendapat sama bahwa penggantian calon terpilih atau PAW tidak dapat dilaksanakan," tegasnya.
Dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 8-9 Januari 2020, ada empat orang ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat praktik suap terkait upaya pemulusan caleg PDIP Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih 2019-2020 melalui PAW.
Keempatnya adalah komisioner KPU Wahyu Setiawan, mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaan Wahyu, kader PDIP Harun Masiku, dan kader PDIP Saeful Bahri.
Wahyu diduga menerima Rp600 juta dari caleg PDIP Harun Masiku melalui perantara, agar ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih melalui PAW menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia.
Namun, semula Wahyu diduga telah meminta uang sebesar Rp900 juta pelicin kepada Harun.
Upaya pemulusan menjadi anggota DPR Harun Masiku dibantu mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan seorang kader PDIP Saeful Bahri.
Namun, upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin Kiemas tak berjalan mulus. Karena hingga rapat terakhir penetapan caleg terpilih 7 Januari 2020, KPU KPU tetap memutuskan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas, bukan Harun Masiku.
Meski demikian, Wahyu menghubungi pengacara dari PDIP, Donny, dan menyampaikan tetap berupaya menjadikan Harun menjadi anggota DPR melalui PAW.
Untuk itu, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta uang yang diberikan Harun kepada Agustina.
Namun, saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu, penyidik KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk Dolar Singapura.
Meski bisa menangkap pihak penerima dan perantara suap, hingga kini KPK belum mampu menangkap kader PDIP Harun Masiku yang berkepentingan di kasus suap tersebut.
Justru, keberadaan Harun Masiku menjadi masalah baru karena Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan pihak imigrasi kompak menyebut Harun belum kembali ke Indonesia sejak pergi ke Singapura pada 6 Januari 2020.
Padahal, Harun Masiku sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020 atau sebelum KPK melakukan OTT sebagaimana investigasi majalah Tempo dan pengakuan istri Harun Masiku, Hildawati Jamrin. (tribun network/ilh/coz)