Orang Tua WNI yang Diobservasi Berharap Anaknya Bisa Pulang Sebelum 2 Minggu, Menkes: Tidak
Orang tua WNI yang sedang diobservasi di Natuna mengaku sempat berharap masa observasi putrinya dapat berakhir sebelum 14 hari.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Orang tua seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang diobservasi di Natuna, Tri Suto, mengaku sempat berharap masa observasi putrinya dapat berakhir sebelum 14 hari.
"Saya minta ke Bapak Menkes (Menteri Kesehatan) kalau bisa masa observasi sebelum 14 hari, kalau bisa dinyatakan sembuh bisa diperbolehkan pulang, tapi sesuai keterangan dari Ibu Wagub (Wakil Gubernur) tidak boleh dulu," kisahnya saat dalam wawancara yang diunggah kanal Youtube Najwa Shihab, Rabu (5/2/2020).
"Harus 14 hari, bahkan (kata wagub), 'nanti saya tambah 2 hari, akan saya ajak rekreasi di Kepulauan Natuna'," sambungnya.
Menanggapi hal itu, Menkes Terawan Agus Putranto dengan tegas menyatakan hal itu tidak dapat dipenuhi.
"Tidak," tegasnya.
"Di WHO aturannya harus dua minggu masa observasi," terang Terawan.
Ahli Epidemiologi atau Virus dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, langsung menjelaskan alasan mengapa observasi WNI di Natuna dilakukan selama dua minggu.
"Rata-rata masa inkubasi untuk virus corona baru itu adalah 10 hari tapi 14 hari adalah masa inkubasi terlama, jadi untuk kehati-hatian," terang Syahrizal.
"Maka 14 hari itu ditentukan sebagai masa observasi," lanjutnya.
Keluarga Mengaku Lega Setelah Proses Evakuasi
Setelah dilakukan proses evakuasi WNI dari Provinsi Hubei, China, pada Minggu (2/2/2020) lalu, keluarga mengaku lega.
"Saat itu saya sangat lega karena saya bisa berkomunikasi dengan anak saya," tutur Tri Suto.
Senada dengan Tri Suto, kakak seorang WNI yang tengah diobservasi di Natuna, Muhammad Rosuli, mengatakan kekhawatiran keluarganya sudah lebih berkurang semenjak dilakukan proses evakuasi.
"Meskipun belum bisa tatap muka secara langsung, paling tidak sudah di negara sendiri," jelasnya.
"Saya pasrah pada pemerintah, saya yakin upaya-upaya pemerintah yang terbaik buat masyarakat," tambah Rosuli.
Lebih lanjut, Rosuli pun mengenang ketika baru saja mendengar kabar merebaknya virus corona di China.
"Orang tua nangis, apalagi ibu denger adik ada di sana," kata Rosuli.
"Bahasanya itu, nggak dapet kabar dari pemerintah, kita tahunya dari adik, terus media-media begitu menyeramkan," tambahnya.
Rosuli pun mengaku mengkhawatirkan persediaan bahan makanan adiknya selama Kota Wuhan diisolasi.
"Yang saya sendiri khawatirkan adalah keberlangsungan konsumsi saat itu, karena memang pasar saat itu hanya ada 2 yang terdekat, harganya sangat mahal," jelasnya.
Sementar, Tri Suto mengatakan sempat tidak bisa tidur saat masa-masa awal merebaknya virus corona di China.
"Pas dengar kabar per 23 Januari di-lockdown, tiap malam nggak bisa tidur," kata Tri.
"Kepikiran nanti anak saya kalau keperluan mau belanja gimana, mau kuliah gimana, tiap malam ibunya nangis terus," sambungnya.
Mahasiswa yang Masih Bertahan di China Berencana Pulang
Seorang mahasiswa Indonesia, Muhammad Fadli, masih bertahan di Provinsi Guangxi, China.
Menurut mahasiswa asal Makassar itu, jarak antara kotanya dengan Wuhan sekitar 1.400 km.
Meskipun cukup jauh, Fadli menyebut sudah terhitung 29 orang di daerahnya yang tewas akibat terinfeksi virus corona.
Fadli pun mengaku orang tuanya terus mendesak supaya ia segera pulang.
"Saya berencana pulang dalam waktu dekat ini karena orang tua sudah memanggil, katanya di China sudah berbahaya," ujar Fadli dalam wawancaranya yang diunggah kanal Youtube Najwa Shihab, Rabu (5/2/2020).
Fadli mengatakan, sebenarnya dirinya masih merasa aman tinggal di Guangxi, China.
Ia mengaku tenang dalam menghadapi peristiwa merebaknya virus corona yang berpusat di Wuhan.
"Kalau saya tanggapinya tenang saja, nggak khawatir, santai," kata Fadli.
"Saya tetap mengikuti anjuran KBRI dengan mengurangi interaksi di luar ruangan.
Saya sebenarnya merasa aman di sini tapi karena permintaan orang tua, saya (berencana) pulang," tambahnya.
Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto pun langsung menanggapi keinginan mahasiswa Indonesia di China yang ingin kembali ke tanah air.
Menurutnya, saat ini sudah tidak ada penerbangan yang memungkinkan mereka untuk pulang.
"Ya penerbangannya aja nggak ada," tutur Terawan, Rabu (5/2/2020).
"Kalau ada, sampai sini ya saya observasi dua minggu," sambungnya sembari tertawa.
Mengetahui rencana Fadli untuk pulang merupakan keinginan orang tuanya, Terawan mengatakan akan mendekati para orang tua yang anak-anaknya masih berada di China.
"Saya tinggal mendekati orang tua, lebih murah," kata Terawan.
Sementara itu, Ahli Epidemiologi atau Virus dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, menganjurkan WNI yang masih bertahan di China (di luar Provinsi Hubei) untuk tetap berada di sana.
Pasalnya, menurut Syahrizal, saat ini yang perlu dicegah adalah munculnya kasus baru dari virus mematikan itu.
"Kita harus mengerti bahwa yang kita perhatikan sekarang, jangan sampai ada kasus baru muncul," kata Syahrizal, Rabu (5/2/2020).
"Itu dengan cara, orang yang sakit sudah ada di rumah sakit, di ruang isolasi, lalu orang-orang yang sehat ini jangan sampai bertemu, jadi upaya karantina ini sebetulnya yang penting mengikuti proses di sana, saya kira nggak perlu pulang," lanjutnya.
Lebih lanjut, Syahrizal menekankan bahwa karantina memang perlu dilakukan.
"(WNI) yang ada di sana (China) maupun Natuna, kita menyebutnya sebagai social context, yaitu orang-orang yang berasal dari negara yang ada kasus konfirmasinya," kata Syahrizal.
"Prinsip dasarnya, kita memang harus lakukan karantina buat mereka," tambahnya.
"Saya anjurkan tetap di sana, yang penting KBRI memperhatikan logistiknya," sambung Syahrizal.
Di lain pihak, orang tua WNI yang diobservasi di China, Tri Suto, mewajarkan keinginan orang tua Fadli yang meminta anaknya pulang.
"Waktu pertama kali virus corona merebak, pikiran orang tua pokoknya pulang, pulang, pulang, nggak ada yang lain," kata ayah Aprilia Mahardini itu, Rabu (5/2/2020).
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)