Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini Sejumlah Kebijakan Kontroversi Gubernur Anies yang Bertentangan dengan Pemerintah Pusat

Diketahui, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memperkenalkan istilah naturalisasi sebagai pengganti normalisasi sungai.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ini Sejumlah Kebijakan Kontroversi Gubernur Anies yang Bertentangan dengan Pemerintah Pusat
KOMPAS IMAGES
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Anies Baswedan di acara peresmian Jalan Tol Becakayu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kerap silang suara atau pendapat dengan pemerintah pusat.

Tercatat ada sejumlah program dan keputusan yang berujung saling adu argumen antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Mulai dari soal normalisasi, proyek LRT rute Pulogadung-Kebayoran Lama, revitalisasi Monumen Nasional (Monas), hingga rute Formula E.

Di antara kebijakan-kebijakan itu, ada yang ditentang pemerintah pusat.

Baca: Akui Diserang Soal Penggrebekan PSK Setelah Kritik Ahok, Andre Rosiade: Berasa Jadi Anies Baswedan

Berikut deretan kebijakan Anies yang ditentang pemerintah pusat:

1. Soal normalisasi

Salah satu hal yang jadi perbincangan di awal tahun 2020 adalah masalah banjir besar yang melanda DKI Jakarta.

Berita Rekomendasi

Antisipasi banjir oleh Pemprov DKI Jakarta pun dipertanyakan lantaran banyaknya wilayah yang terendam.

Meski demikian, Pemprov DKI dan pemerintah pusat justru berdebat tentang normalisasi yang masih terhenti atau naturalisasi yang harus diterapkan.

Diketahui, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memperkenalkan istilah naturalisasi sebagai pengganti normalisasi sungai.

Anies setuju sungai dikembalikan ke lebarnya yang asli, tetapi tidak dengan cara dipasang sheet pile (beton). Menurut dia, betonisasi pinggir sungai akan merusak ekosistem sungai.

Naturalisasi, kata Anies, menghidupkan ekosistem sungai. Air sungai akan dijernihkan sehingga bisa menjadi habitat hewan.

"Kalau makhluk-makhluk bisa hidup di sana, artinya polusi juga rendah. Dan itu yang akan kita lakukan," ujar Anies di Monas pada 2 Mei 2019.

Namun, dalam lebih dari dua tahun menjabat sebagai gubernur, program naturalisasi sungai ala Anies belum terlihat.

Sedangkan pemerintah pusat tetap masih mengandalkan normalisasi.

Saat banjir datang, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyindir bahwa 17 km dari 33 km kali Ciliwung belum dinormalisasi.

Menurut Basuki, sungai yang terjamin bebas dari luapan banjir baru sepanjang 16 km.

Hal itu diungkapkannya seusai meninjau lokasi banjir di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada Rabu (1/1/2020).

"Mohon maaf, Bapak Gubernur, selama penyusuran Kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah ditangani, dinormalisasi 16 km," kata Basuki.

Basuki mengungkapkan, upaya normalisasi akan menemui sejumlah kendala. Terlebih lagi, lebar kali Ciliwung saat ini kian menyempit.

Baca juga: Naturalisasi di Jakarta dan Pemanfaatan Tepi Sungai yang Bernilai Estetis

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta berpendapat bahwa banjir kali ini terjadi bukan perkara sudah dinormalisasi atau belum.

"Yang terkena banjir itu di berbagai wilayah. Jadi ini bukan sekadar soal yang belum kena normalisasi saja, nyatanya yang sudah ada normalisasi juga terkena banjir," kata Anies

Adapun daerah yang sudah dilakukan normalisasi yakni Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

Akhirnya, Presiden Jokowi menginstruksikan normalisasi semua sungai di Jakarta dilanjutkan.

Instruksi itu disampaikan Jokowi saat memanggil sejumlah kepala daerah lain di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/1/2020).

"Semuanya saya kira perlu dilakukan penormalan kembali sehingga aliran air yang ada di Jakarta bisa kembali normal," kata Jokowi.

2. Rute LRT Pulogadung-Kebayoran Lama

Program Pemprov DKI Jakarta lainnya yang tak sesuai dengan pemerintah pusat adalah LRT rute Pulogadung-Kebayoran Lama.

Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan berencana membangun moda LRT Jakarta koridor Pulogadung-Kebayoran Lama sepanjang 19,7 kilometer.

Menurut rencana, trase atau rute LRT Pulogadung-Kebayoran Lama akan melintasi Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letjend Suprapto, Tugu Tani, Jalan Kebon Sirih, hingga Tanah Abang.

"Usulan yang akan kami bangun itu adalah LRT mulai Pulogadung, kemudian Perintis Kemerdekaan, masuk ke Suprapto, Senen, Tugu Tani, Kebon Sirih, Tanah Abang, turun ke KS Tubun, ke Kebayoran Lama, trasenya seperti itu," ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.

LRT tersebut akan dibangun dengan skema pembiayaan kerja sama pemerintah daerah dan badan usaha (KPDBU) dengan nilai investasi sekitar Rp 15 triliun.

Sebelum proyek itu berjalan, Pemprov DKI Jakarta mengirimkan surat ke Kementerian Perhubungan untuk menyampaikan rencana pembangunan LRT koridor Pulogadung-Kebayoran Lama.

Kemenhub kemudian membalas surat dari Pemprov DKI. Isinya, Kemenhub menyatakan rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama berimpitan dengan trase moda mass rapid transit (MRT) koridor timur-barat (Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja).

Kedua moda transportasi tersebut rencananya sama-sama melewati Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letjend Suprapto, Tugu Tani, Jalan Kebon Sirih, dan Jalan KS Tubun.

Karena itu, Kemenhub meminta Pemprov DKI mengubah rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama.

Pemprov DKI Jakarta pun mau tak mau mengubah rencana trase atau rute LRT Jakarta koridor Pulogadung-Kebayoran Lama karena mengikuti arahan Kemenhub.

"Kami sesuaikan," ujar Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah.

Saefullah berujar, Pemprov DKI Jakarta akan selalu mendukung kebijakan pemerintah pusat.

Karena itu, Pemprov DKI akan mengubah rencana trase LRT Pulogadung-Kebayoran Lama yang sama dengan trase MRT koridor timur-barat.

Namun, Saefullah belum merinci perubahan trase tersebut.

"Kata kuncinya adalah integrasi. Kalau sudah ada program (pemerintah) pusat, ya kami integrasikan. Jadi enggak boleh beriringan begini, padahal melayani hal yang sama, rute yang sama, enggak boleh, jadi kami kerjakan yang lain," kata Saefullah.

3. Revitalisasi Monas

Yang tak kalah diperbincangkan beberapa waktu terakhir adalah revitalisasi Monas. Satu hal yang menjadi polemik adalah izin revitalisasi dari pemerintah pusat.

Revitalisasi tersebut dilakukan tanpa mengantongi izin dari Komisi Pengarah dan melewati tahapan-tahapan yang telah diatur.

Sekretaris Utama Kemensetneg Setya Utama menyebutkan, keberadaan Komisi Pengarah ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Setya menambahkan, sebelum revitalisasi dilakukan, seharusnya Pemprov DKI mengajukan izin terlebih dahulu kepada Komisi Pengarah untuk selanjutnya dilalukan pembahasan.

"Nah, tugas pengarah itu memberikan pendapat dan pengarahan terhadap Badan Pelaksana. Tugasnya memberikan persetujuan terhadap perencanaan beserta pembiayaan pembangunan Taman Medan Merdeka, kemudian melakukan pengendalian," ujar Setya saat dihubungi Kompas.com.

Setelah permohonan izin diajukan, lanjut Satya, setiap anggota Komisi Pengarah akan memberikan masukannya.

Terkait revitalisasi Monas, berbagai kementerian dan lembaga semestinya memberi pendapat.

"Jadi ini pendapat kolektif ya. Karena kan dalam Komisi Pengarah semua sektor ada di sana ya, PU ada, Kementerian Lingkungan Hidup, jadi terkait penebangan pohon harusnya lingkungan hidup, iya kan," kata dia.

Pemprov DKI Jakarta lalu menghentikan sementara proyek revitalisasi sisi selatan Monas karena tidak mengantongi izin Komisi Pengarah pada 28 Januari 2020.

Pada 6 Februari, Anies memberikan pernyataan bahwa revitalisasi kawasan Monas akan terus berjalan.

Hal itu diputuskan dalam rapat Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang diketuai Menteri Sekretaris Negara pada Rabu (5/2/2020).

"Alhamdulillah revitalisasi Monas jalan terus, jadi itu sejalan dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1995 karena memang rancangannya dibuat mengikuti keppres," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis.

4. Formula E

Masih berkaitan dengan Monas, pergelaran balap mobil listrik Formula E yang sedianya digelar di kawasan Monas tak mendapat persetujuan dari Komisi Pengarah.

Sekretaris Kemensetneg Setya Utama sebelumnya mengatakan, Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka melarang penggunaan Monas untuk pergelaran Formula E.

Pergelaran Formula E diizinkan jika berlangsung di kawasan di luar Monas sehingga tak mengganggu cagar budaya.

"Formula E nanti saya sampaikan rapat Komrah (Komisi Pengarah), bahwa Komrah tidak menyetujui apabila dilaksanakan di dalam area Monas dengan banyak pertimbangan. Di sana ada cagar budaya, ada pengaspalan, dan lain-lain," jelas Setya.

Menurut rencana, Formula E digelar pada 6 Juni 2020 di kawasan Monas, Jakarta Pusat.

Rencana awal, rute balapan tersebut akan melintasi area di dalam kawasan Monas dan Jalan Medan Merdeka Selatan.

Lintasan Formula E sepanjang 2,6 kilometer rencananya dimulai dari Jalan Medan Merdeka Selatan.

Lintasan kemudian belok kiri ke Jalan Silang Merdeka Tenggara dan masuk ke dalam kawasan Monas, memutari Jalan Titian Indah di dalam Monas, menuju Jalan Silang Merdeka Barat Daya, dan berakhir kembali di Jalan Medan Merdeka Selatan.

Karena tak mungkin melanggar aturan, Anies menerima keputusan itu.

Baca juga: Formula E Dilarang Pakai Area Monas, Anies Sebut FIA Tak Masalahkan Perubahan Lokasi

Pemprov DKI Jakarta langsung berkomunikasi dengan FIA Formula E untuk menentukan lintasan baru.

"Tadi malam kami sudah langsung komunikasi dengan pengelola Formula E dan organisasi balap internasional yang kemudian sore ini tim mereka sudah dalam perjalanan ke Jakarta untuk menentukan lokasi baru," tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Menurut Anies, FIA Formula E tidak mempermasalahkan perubahan lintasan tersebut.

Dia yakin penentuan lintasan Formula E dan pembangunan infrastrukturnya bisa selesai sebelum pelaksanaan balapan pada 6 Juni 2020.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deretan Kebijakan Anies yang Bertentangan dengan Pemerintah Pusat..."

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas