Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Istana Belum Putuskan Pemulangan WNI Eks ISIS, Komnas HAM: Indonesia Harus Mengurus, Tanggung Jawab

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik meminta pemerintah bertanggung jawab pada 600 warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota ISIS.

Penulis: Nuryanti
Editor: Miftah
zoom-in Istana Belum Putuskan Pemulangan WNI Eks ISIS, Komnas HAM: Indonesia Harus Mengurus, Tanggung Jawab
tangkap layar ABC News
ILUSTRASI WNI Eks ISIS 

TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik meminta pemerintah bertanggung jawab pada 600 warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Menurutnya, tidak ada landasan hukum bagi pemerintah Indonesia untuk menghapuskan kewarganegaraan warganya yang terlibat aksi terorisme.

"Siapa pun dia, sepanjang dia masih dalam kategori WNI, maka Indonesia harus mengurusnya, tanggung jawab."

"Dalam undang-undang kewarganegaraan kita, tentang itu (penghapusan kewarganegaraan) enggak ada," kata Taufan di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2020), dikutip dari Kompas.com.

Sehingga, pemerintah tidak bisa menyebut eks ISIS tersebut bukan warga negara Indonesia.

Baca: Akan Dipulangkan ke Indonesia? Anggota ISIS Harus Ucapkan Janji Setia kepada NKRI

Namun, jika pemerintah menolak memulangkan WNI eks ISIS, ada pilihan yang bisa ditempuh dengan memberlakukan undang-undang yang memungkinkan status kewarganegaraan seseorang dihapuskan.

"Bisa enggak kita bikin kebijakan untuk dikeluarkan dari kewarganegaraan indonesia?" tanya Taufan.

Berita Rekomendasi

Ia mengungkapkan, pemerintah bisa mencontoh Inggris dan Jerman.

Sebab, kedua negara tersebut sudah memberlakukan aturan penghapusan status kewarganegaraan bagi warganya yang terlibat terorisme.

"Ada potensi kecaman internasional. Kenapa, kalian Indonesia misalnya membuat satu kebijakan yang menimbulkan ada warga negara kalian yang stateless," ungkapnya.

Sehingga, Taufan meminta pemerintah cermat dan memikirkan matang-matang segala kemungkinan.

"Tapi enggak boleh berlama-lama. Kan jadi polemik politik, ini bukan isu politik, ini isu hukum. Ini bukan soal kemanusiaan, ini isu hukum," katanya.

Mengutip Kompas.com, Taufan mengatakan, tanggung jawab pemerintah tidak harus dalam bentuk memulangkan WNI tersebut ke Tanah Air.

Wacana pemulangan itu justru harus lebih dulu dikaji secara cermat dan dipertimbangkan segala baik dan buruknya.

Pemerintah harus mencarikan solusi dan tidak lepas tangan terkait hal ini.

"Diurus itu kan bukan berarti pro," ujar Taufan.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. (Tribunnews.com/Gita Irawan)
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. (Tribunnews.com/Gita Irawan) (TRIBUNNEWS.COM/Gita Irawan)

Pernyataan Istana

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, wacana pemulangan WNI eks ISIS belum diputuskan oleh pemerintah.

Saat ini, pemerintah tengah membahas mengenai perlu tidaknya 600 WNI eks ISIS tersebut dipulangkan ke Indonesia.

Berbagai masukan sedang dikaji sebagai dasar keputusan pemerintah terhadap para WNI tersebut.

"Jadi maksudnya begini, makanya dalam beberapa kesempatan saya selalu bilang, tentu pemerintah menimbang-nimbang."

"Sebagai sebuah negara demokrasi yang besar dan kepribadian Bapak Presiden seperti itu, maka saya dalam berbagai kesempatan selalu saya bilang ini sedang dibahas."

"Usulan dalam bentuk apapun juga ini sedang dibahas," ujar Ngabalin dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu, (9/2/2020), diberitakan Tribunnews.com sebelumnya.

Ia berharap, 600 WNI eks ISIS tersebut tidak menjadi beban bagi pemerintah Indonesia.

Baca: Tolak Pemulangan WNI eks ISIS, Ali Ngabalin: Sudah Sebut Negara Ini Thoghut, Kafir, Bakar Paspor

Alasannya, mereka memutuskan bergabung dengan kelompok radikal tersebut atas kemauannya sendiri.

Sehingga, jalan ke depannya, juga menjadi urusan para WNI itu sendiri.

"Siapa-siapa yang pergi atas nama dirinya, untuk kesenangan dirinya untuk memilih ideologinya kemudian pergi dan keluar Indonesia."

"Kemudian menempuh jalan surgawinya, tempuhlah jalan itu, kau selamat atau kau tidak selamat, itu urusanmu," katanya.

"Jangan lagi membebani negara pemerintah, serta rakyat Indonesia dengan rencana pemulanganmu," tegas Ali Mochtar Ngabalin.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Ia menyebut, mereka bergabung dengan ISIS dengan menjelek-jelekan Indonesia.

Ngabalin berujar, sebaiknya para WNI tersebut tidak merengek untuk pulang ke Indonesia.

"Karena sudah menyebutkan negara ini negara thoghut, negara kafir, dia merobek-robek membakar paspornya, makan itu kau punya paspor," imbuh Ngabalin.

Ia menambahkan, tidak mudah untuk memutuskan wacana pemulangan 600 WNI mantan anggota ISIS.

"Dalam hal wacana pemulangan WNI yang mantan kombatan di ISIS ini kan ini bukan sebuah hal yang gampang," kata Ngabalin, dikutip dari Kompas.com, Minggu (9/2/2020).

Sehingga, diperlukan pertimbangan yang matang untuk memutuskan pemulangan ke Indonesia.

Menurut Ngabalin, pemerintah punya dua draf terkait wacana tersebut.

Draf pertama, pemerintah menerima kembali 600 WNI yang diduga sebagai teroris lintas batas.

Sedangkan, draf kedua pemerintah menolak pemulangan seluruhnya.

Namuan, jika pemerintah menolak, harus ada landasan hukum yang kuat.

Demikian juga jika 600 WNI itu diterima, harus ada argumentasi undang-undangnya hingga potensi bahayanya bagi negara.

Baca: Soal Polemik Pemulangan 600 WNI Eks ISIS, Ali Ngabalin Ungkap Pendataan yang Dilakukan Pemerintah

Baca: Jokowi Soal Eks ISIS: Saya Akan Bilang Tidak, Tapi Masih Akan Bahas di Rapat Terbatas

Selain itu, pemerintah juga perlu mendata secara lengkap dan akurat kepada seluruh WNI tersebut.

"Draf itu kan mesti memuat supaya Bapak Presiden bisa mendapatkan informasi yang baik dan akurat," katanya.

"Kemudian, summary-nya harus mantap dari draf-draf yang ada. Kenapa begitu? karena ini menjadi dokumen negara," ujarnya.

Proses profiling ini membutuhkan waktu, pemerintah tidak bisa terburu-buru dalam memgambil keputusan.

Ditargetkan, draf itu selesai paling lambat Mei 2020.

Selanjutnya, pada Juni 2020, Presiden Joko Widodo akan mengambil keputusan.

"Seberat apa pun pasti Presiden punya keputusan. Kalau pun nanti persoalan waktu kemudian Bapak Presiden punya pertimbangan-pertimbangan itu juga menjadi keputusan, kan," jelas Ngabalin.

(Tribunnews.com/Nuryanti/Taufik Ismail) (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas