Cuti Melahirkan 6 Bulan, RUU Ketahanan Keluarga Hanya Akan Bikin Tumpang Tindih Aturan
RUU ini memperpanjang cuti bagi perempuan melahirkan dari sebelum tiga bulan menjadi enam bulan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari mengkritik Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga mengatur tentang cuti melahirkan.
RUU ini memperpanjang cuti bagi perempuan melahirkan dari sebelum tiga bulan menjadi enam bulan.
Menurut Eva, aturan cuti melahirkan sudah diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Soal cuti melahirkan sudah diatur di UU Ketenagakerjaan. Terus UU ASN juga sudah mengaturnya,” ujar Eva di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (20/2/2020).
Karena itu dia menilai, RUU ini hanya akan membuat tumpang tindih aturan yang sudah ada selama ini.
“Jangan overlaps dong dengan aturan yang sudah ada,” tegasnya.
Baca: Aktivis Perempuan Sebut RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Langgengkan KDRT
Menurut dia, jauh lebih penting RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) atau Kesetaraan Gender atau Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera diselesaikan daripada RUU Ketahanan Keluarga.
Karena RUU itu imbuh dia, malah tidak mendukung kesetaraan gender.
“RUU ini salah paradigm, intensifikasi domestifikasi perempuan kan tidak mendukung kesetaraan gender,” jelasnya.
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang beredar memuat sejumlah usulan aturan baru. Salah satunya terkait aturan cuti bagi wanita bekerja yang melahirkan. Ketentuan itu hendak diatur di dalam Pasal 29 RUU.
Namun, pasal tersebut hanya akan mengatur untuk lima instansi, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Sedangkan perusahaan swasta tidak diatur di dalamnya.
Baca: Anggota DPR Perempuan Pengusul RUU Ketahanan Keluarga Akan Terkena Imbas Pasal 25
Cuti Melahirkan hingga Haid Terancam Tak Dibayar Dalam usulannya pada ayat (1) huruf a disebutkan, "Wanita yang melahirkan berhak menerima cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya."
Ketentuan waktu cuti ini berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam UU ASN, ketentuan itu diatur di dalam BAB VI tentang Hak dan Kewajiban Pasal 21 huruf b. Baca juga: Ini Sejumlah Aturan Cuti Melahirkan Bagi CPNS Secara rinci, ketentuan itu dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Tepatnya, pada Bab XIII tentang Cuti, Bagian Keenam terkait Cuti Melahirkan, Pasal 325 hingga Pasal 327.
Di dalam pasal itu dijabarkan, PNS berhak mengajukan cuti melahirkan untuk kelahiran anak pertama sampai anak ketiga. Lama cuti melahirkan adalah tiga bulan.
Selama cuti melahirkan, mereka masih bisa menerima hak berupa penghasilan.
Sedangkan untuk anak keempat dan seterusnya diberikan cuti besar. Hak ini diberikan bagi PNS yang telah bekerja paling singkat lima tahun dan dapat mengajukan cuti paling lama tiga bulan. Mereka yang mengajukan cuti besar juga tetap memperoleh hak penghasilan.
Baca: Alexander Marwata Ngaku Tak Tahu Keberadaan Buron KPK Nurhadi
Sementara di dalam UU Ketenagakerjaan yang turut mengatur tentang perusahaan negara (BUMN), ketentuan cuti itu diatur di dalam Pasal 82.
Di dalam ayat (1) disebutkan, “Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.” Sedangkan di dalam ayat (2) disebutkan, “Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.”(*)