Dewan Periklanan Indonesia Desak Hadirnya UU Periklanan
Beberapa hal yang menjadi perhatian DPI antara lain, konten-konten periklanan yang harus dilindungi dari pengaruh budaya asing
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Derasnya kepemilikan modal asing di industri periklanan nasional membuat Dewan Periklanan Indonesia (DPI) merasa risau atas arah konten-konten periklanan yang tidak sesuai etika periklanan Indonesia.
Karena itu DPI mendesak pemerintah untuk mulai merancang Undang-Undang Periklanan yang akan mengatur pembuatan konten yang sesuai dengan budaya Indonesia.
Ketua Presidium Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Sancoyo Antarikso dalam acara Penyerahan Naskah Amandemen Etika Pariwara Indonesia (EPI) 2020 di Grha Unilever, Tangerang, Jumat (21/2/2020) .
Ia mengatakan beberapa hal yang menjadi perhatian DPI antara lain, konten-konten periklanan yang harus dilindungi dari pengaruh budaya asing.
Industri periklanan yang terdisrupsi dengan platform asing seperti Google Facebook dan Instagram yang menyerap semakin besar belanja Iklan serta soal perlindungan data.
“Definisi periklanan saat ini bukan lagi yang kemarin kita diskusikan, sudah jauh berbeda dan dengan tren global yang semakin mendisrupsi kita butuh perundangan untuk meregulasi,” kata Sancoyo.
Anggota presidium Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Janoe Arijanto menambahkan, saat ini yang terjadi dalam industri periklanan adalah kompetisi yang tidak sehat karena tidak adanya aturan perundangan yang melindungi.
Baca: Pembangunan Tol Banda Aceh - Sigli, Jokowi: Saya Kaget Kecepatannya Luar Biasa
Baca: Ahmad Basarah: Internal PDIP Inginkan Gibran Maju Calon Wali Kota Solo
Baca: Suhendra: Implementasi Butir-butir MoU Helsinki Kunci Kebangkitan Aceh
Modal asing saat ini diperbolehkan menguasai 67% kepemilikan agensi periklanan, karena tidak lagi masuk dalam negatif list investasi asing.
“Padahal yang menyangkut hajat hidup orang banyak bukan hanya air dan kekayaan alam, tapi juga konten, informasi. Kalau ini dikuasai asing, kan kedepannya membahayakan. Karena itu perlu diatur oleh perundangan,” kata Janoe yang juga Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
Mengamini Janoe, Ketua Dewan Perguruan Periklanan Indonesia (DP2I) RTS Masli mengatakan, apa yang terjadi di Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi industri ini di negara lain, dimana modal asing dibatasi tidak lebih dari 51%.
Hal ini terjadi karena mereka memahami bahwa konten tidak boleh dikuasai oleh pemilik modal asing.
“Itu bahaya menurut mereka, sementara kita semakin membuka keran modal asing karena mengganggap makin banyak yang masuk maka makin banyak capital inflow. Padahal, industri kreatif itu bukan padat modal tapi padat kreatif,” tukasnya.
Pembukaan keran modal asing di Periklanan dimulai saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berjalan.
Tapi ternyata tidak terjadi Capital Inflow karena semua berhenti di Singapura sebagai Hub-nya Asean.
“Mereka menaruh kantor operasional Asia disana, bukan di Indonesia,” katanya.
Masli mengingatkan agar para pemangku kepentingan di industri Periklanan kembali kepada statuta DPI yaitu melindungi pengaruh dari budaya asing, dan terciptanya industri periklanan yang sehat.
Dalam kesempatan tersebut diserahkan pula Buku Naskah Amandemen Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang disampaikan oleh Ketua Panitia Penyempurnaan EPI Hery Margono kepada Ketua Presidium Dewan Periklanan Indonesia Sancoyo Antarikso.
EPI 2020 adalah penyempurnaan keempat kalinya, dengan penambahan banyak klausul baru seperti klausul agama, dan lingkungan, iklan pelaku usaha jasa keuangan serta penambahan tentang sanksi.
“Kami berharap EPI 2020 yang disempurnakan ini dapat menjadi pedoman perilaku yang dipatuhi seluruh insan pariwara nusantara, sehingga pariwara kita benar-benar Indonesiani dan beretika,” kata Hery.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.