Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Izin Pendokumentasian Persidangan Dinilai Tidak Fair dan Melanggar HAM

Surat Edaran itu menyatakan bahwa pngambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Izin Pendokumentasian Persidangan Dinilai Tidak Fair dan Melanggar HAM
Tribunnews/JEPRIMA
FOTO DOK./Suasana sidang putusan akhir untuk perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 dalam sidang di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2019). Sebanyak 67 perkara dari total 202 perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 dibacakan putusan akhirnya pada hari pertama sidang oleh Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 (SEDirjen Badilum 2/2020).

Surat Edaran itu menyatakan bahwa pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Terkait hal itu, Ketua PBHI Nasional Totok Yuliyanto, Jumat (28/2/2020), mengatakan terdapat pelanggaran terhadap hak asasi manusia serta prinsip dasar dalam peradilan akibat terbitnya SEDirjen Badilum 2/2020 tersebut.

Pertama, kata Totok, Konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, serta Instrumen Hak Asasi Manusia (Deklarasi Universal HAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik UU No. 12 Tahun 2005) telah menjamin hak setiap orang atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak (hak atas peradilan yang adil dan jujur).

Baca: Larangan di Pengadilan, ICJR: Ini Bentuk Kesewenang-wenangan Mahkamah Agung

Hak atas peradilan yang adil dan jujur, merupakan jenis hak sipil dan politik yang bersifat negatif (negative rights), di mana pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya semakin baik jika negara tidak melakukan intervensi (termasuk pelanggaran).

Singkatnya, semakin kecil intervensi (pelanggaran, pembatasan, peran) negara dalam pengaturan hak ini maka semakin baik tugas negara.

Patut dipahami, bahwa pendokumentasian persidangan (memfoto, merekam suara, gambar bergerak, dan lainnya) merupakan bentuk kegiatan dalam rangka menjamin hak atas peradilan yang adil dan jujur.

Berita Rekomendasi

“PBHI menegaskan bahwa peradilan di Indonesia belum menjamin pendokumentasian dalam proses hukum yang dapat diakses oleh pihak yang berperkara yang merupakan bentuk pelayanan publik, sehingga banyak terjadi rekayasa kasus, penghilangan bukti, serta pertimbangan hakim yang tidak berdasarkan fakta persidangan”, jelas Totok.

Oleh sebab itu, kata dia, tidak dapat dibatasi dengan mekanisme apapun termasuk ijin.

Kedua, prinsip dasar dalam peradilan yang adil dan jujur, adalah adanya pengawasan yang intensif dan terbuka, bukan hanya oleh pihak yang berperkara yapi juga oleh publik.

Terlebih lagi dalam situasi peradilan yang koruptif.

“PBHI mencatat, faktanya ada 20 Hakim yang terlibat praktik Korupsi sejak 2012-2019, belum termasuk panitera, ini gambaran bahwa masih koruptif dan perlu pengawasan yang ketat," kata Julius Ibrani, Sekjen PBHI Nasional.

Pengawasan ini tidak boleh dipandang sebagai bentuk pelanggaran ketertiban, terlebih lagi, tidak ada indikator ketertiban dalam SEDirjen Badilum MA Nomor 2/2020 sehingga dapat menimbulkan subyektivitas dan multitafsir yang menyebabkan ketidakpastian hukum.

Sejatinya, pengawasan justru menjadi modal utama untuk menjaga nama baik dan etika profesi ketika bertugas.

"PBHI memahami bahwa independensi serta obyektivitas Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan wajib dijunjung tinggi dengan didukung oleh kondisi yang tertib, disiplin, dan tenang demi menjaga keadilan," ujar Julius.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas