Omnibus Law LHK Menyederhanakan Prosedur Tanpa Mengubah Prinsip Lingkungan
Prinsipnya norma lingkungan tidak ada yang berubah. Kebijakan memang ada yang berubah, tekhnis sebagian ada yang berubah
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Yogyakarta - Pakar hukum Universitas Parahyangan Prof Asep Warlan Yusuf, menegaskan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada prinsipnya tidak mengalami perubahan.
Khususnya perubahan pasal pada UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
''Prinsipnya norma lingkungan tidak ada yang berubah. Kebijakan memang ada yang berubah, tekhnis sebagian ada yang berubah, dan untuk prosedur memang banyak berubah menjadi lebih sederhana,'' kata Asep dalam sosialisasi RUU Omnibus Law dalam Rakernas KLHK, Jumat (28/2/2020) di Yogyakarta.
Sosialisasi dipimpin langsung Menteri LHK Siti Nurbaya, dengan narasumber Sekjen KLHK Bambang Hendroyono, Prof.San Afri Awang, Prof. Hariadi Kartodihardjo, Prof. Mustofa Agung Sardjono, Prof. Asep Warlan Yusuf, dan Dr.Ir.Ilyas Assad. Sosialisasi RUU Omnibus Law ini diikuti jajaran KLHK, UPT KLHK, termasuk Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari seluruh Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Perekonomian, saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi di pusat dan daerah, karena terdapat 43.511 peraturan. Penerapan metode Omnibus Law dikatakan Asep memiliki banyak kelebihan untuk menyelesaikan disharmoni regulasi di Indonesia.
Kelebihan tersebut antara lain dapat mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien. Selain itu mampu menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi.
Omnibus Law juga dapat memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit, meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu, serta adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan.
''Kenapa jadi perizinan berusaha dalam Omnibus Law? karena akan menjamin penyederhanaan perizinan. Kepastian hukum dan kemudahan berusaha juga akan dijamin,'' kata Asep.
Terkait izin lingkungan yang diubah menjadi Perizinan Berusaha dalam RUU Omnibus Law, dikatakan Sekjen KLHK Bambang Hendroyono bahwa penerapan standar pengelolaan lingkungan hidup diterapkan berbasis resiko.
Wajib Dokumen Amdal
Untuk resiko tinggi, tahapannya wajib memenuhi dokumen analisis dampak lingkungan atau Amdal, uji kelayakan, Keputusan Kelayakan Lingkungan, barulah keluar perizinan berusaha.
''Untuk resiko sedang dikelola melalui Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL dan UPL), dan resiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar baku sebagai alat kontrol," kata Bambang.
Sementara itu terkait pasal pada UU 41 tahun 1999 mengenai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya berubah menjadi 'Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya', dikatakan Tenaga Ahli Menteri LHK bidang legislasi legal dan advokasi, Ilyas Asaad, haruslah utuh membaca perubahan dari pasal per pasal.
''Membaca pasal 49 seharusnya juga membaca pasal 50 yang mengatur tentang larangan membakar serta pasal 78 ayat (3) tentang hukum pidana bagi pembakar hutan. Dengan demikian sebenarnya dilarang melakukan pembakaran hutan oleh siapa saja dan khusus kepada korporasi diberi tambahan kewajiban yaitu melakukan pencegahan dan pengendalian,'' tegas Ilyas.(**)