Alasan Mahkamah Agung Batalkan Kenaikan Iuran BPJS
Dia menjelaskan pemerintah harus mewujudkan pemberian jaminan kesehatan, karena kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim mempertimbangkan hak asasi manusia Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) pada saat memutuskan membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah.
"Ada beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangannya. Pada prinsipnya jaminan sosial yang diantaranya mencakup jaminan kesehatan adalah hak asasi manusia," kata dia, Selasa (10/3/2020).
Dia menjelaskan pemerintah harus mewujudkan pemberian jaminan kesehatan, karena kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Baca: Pembangunan Rumah Ibadah Kerap Jadi Konflik, FKUB: Kita Akan Cari Jalan Sebaik-baiknya
"Sebagai upaya melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat," kata dia.
Menurut dia, MA melihat para pasien cuci darah itu mempermasalahkan kenaikan iuran BPJS.
"Kalau dengan BPJS yang tinggi-tinggi (biaya mahal,-red) itu tidak sanggup. Pasien merasa beban kalau iuran tinggi, semntara dia orang sakit tidak bekerja tidak punya simpanan. Siapa yang membayar," tuturnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menerima dan mengabulkan sebagian uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Baca: Pasangan Suami Istri di Kabupaten Malang Diduga Bunuh Diri
Permohonan uji materi itu diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI). Mereka merasa keberatan terhadap kenaikan iuran. Kemudian, mereka menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan.
Juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro, mengonfirmasi putusan tersebut.
"Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil, Kamis 27 Februari 2020 putus," kata dia, saat dihubungi, Senin (9/3/2020).
Persidangan dipimpin ketua majelis yaitu Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.
Pada putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Baca: Jokowi Diingatkan Ikuti Tahapan Aturan Pemindahan Ibu Kota Negara
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," bunyi putusan tersebut.
Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945.
Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan," bunyi putusan tersebut.
Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1,