Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

KPCDI Beberkan Alasan Mereka Lakukan Judicial Review untuk Batalkan Kenaikan Iuran BPJS

Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (9/3/2020) lalu.

Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in KPCDI Beberkan Alasan Mereka Lakukan Judicial Review untuk Batalkan Kenaikan Iuran BPJS
Dok. KPCDI
KPCDI beserta Kuasa Hukumnya melakukan Konferensi Pers Tentang Keputusan Mahkamah Agung RI yang Membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan Jumat (13/03/2020) 

TRIBUNNEWS.COM -  Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (9/3/2020) lalu.

Pembatalan tersebut tidak lepas dari campur tangan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Diketahui KPCDI merupakan pihak yang telah mendaftarkan hak uji materiil Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke MA pada 5 Desember 2019 lalu.

Kuasa Hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa, mengatakan angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menimbulkan pesertanya bertanya-tanya. 

"Darimana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikkan penghasilan tidak sampai 10 persen setiap tahun,” kata Rusdianto dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Jumat (13/4/2020). 

Ia menegaskan Iuran BPJS naik 100 persen tanpa ada alasan logis dan sangat tidak manusiawi.

"Ingat ya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi," tandasnya. 

BERITA TERKAIT

Rusdianto menambahkan, tingkat inflasi ini betul-betul dijaga, tidak melebihi 5 persen.

"Pasalnya, kalau sudah mencapai 5 persen sudah gerah semua. Nah, ini kenaikkan (inflasi) tidak sampai 5 persen, tapi iuran BPJS dinaikkan 100 persen, ini 'kan tidak masuk akal,” imbuh Rusdianto.

Baca: Mengenal KPCDI, Komunitas yang Ajukan Uji Materi Terkait Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Saat KPCDI ke MA untuk uji materiil Perpres No 75 Tahun 2019 pada 5 Desember 2019 lalu
Saat KPCDI ke MA untuk uji materiil Perpres No 75 Tahun 2019 pada 5 Desember 2019 lalu (Instagram.com/kpcdi/)

Rusdianto menilai Perpres No. 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

“Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak,” tutupnya.

Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir, mengatakan kebijakan menaikkan iuran tersebut dikhawatirkan akan membebani peserta BPJS Kesehatan di kelas mandiri yang tergolong orang tidak mampu.

Sedangkan di sisi lain, mereka belum tentu terdaftar sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran).

Jika pemerintah benar-benar menaikkan iuran BPJS, Tony memproyeksi akan banyak yang menunggak.

Sehingga berpotensi sebagian besar masyarakat tidak bisa menikmati layanan kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara.

“Sebagai pesien gagal ginjal, sudah tidak produktif lagi seperti dulu, rentan terkena PHK, ditambah pengeluaran mereka tinggi untuk membeli obat-obat yang tidak dijamin oleh BPJS,” tuturnya. 

Berdasarkan laporan yang diterima Tony terdapat sejumlah pasien gagal ginjal yang PBI-nya juga dicabut tanpa pemberitahuan oleh Kementerian Sosial dan Dinas Sosial akibat dari cleansing data.

Baca: Maruf Amin soal Putusan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

“Pasien tidak bisa cuci darah. Mereka ini berpotensi gagal bayar iuran. Gagal bayar iuran membuat Kartu BPJS Kesehatannya tidak aktif," tegas Tony.

Sekjen KPCDI menjelaskan mayoritas anggota KPCDI merupakan peserta BPJS yang tidak masuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) alias peserta mandiri.

Sehingga mereka sangat bergantung pada BPJS.

"Mereka terancam gagal bayar. Kalau gagal bayar berarti BPJS kami mati. Kalau kartu BPJS mati kami tidak bisa cuci darah."

"Bila tidak cuci darah berakibat nyawa melayang. Dua kali tidak cuci darah atau lebih sudah membuat celaka. Kalau tidak meninggal ya masuk ICU," ucap Petrus.

Setidaknya, biaya untuk satu kali melakukan pencucian darah rata-rata Rp 1,2 juta. 

Sedangkan penyintas gagal ginjal diharuskan melakukan kegiatan tersebut dua kali dalam seminggu. 

Petrus membeberkan, biaya besar tersebut dikarenakan banyak komponen yang tidak di-cover BPJS.

Biaya ini akan semakin besar ketika tempat pasien cucian darah berjauhan dengan fasilitas kesehatan yang ada. 

"Di daerah lebih memprihatinkan lagi. Antara rumah dan tempat cuci darah sangat jauh. Biaya transportasi membebani, apalagi bagi pasien yang pakai kursi roda," tandasnya.

Ilustrasi pasien gagal ginjal (kpcdi.org)
Ilustrasi pasien gagal ginjal (kpcdi.org) (https://kpcdi.org/)

Baca: MA Putuskan Iuran BPJS Batal Naik, Iuran BPJS Kesehatan Ambon Belum Juga Turun

Pada dasarnya biaya pencucian darah tergantung dari tipe rumah sakit tempat pasien dirawat 

"Kalau RS tipe A seperti RSCM akan dibayar gede oleh BPJS. Relatif pasien hanya keluar ongkos. Tipe dibawahnya dibayar BPJS lebih rendah. Dan seterusnya. Rumah sakit swasta beda-beda memberi fasilitasnya."

"Ada yg harus beli 4 suntikan hormon eritropoietin. Yaitu hormon pembentuk hemoglobin agar tidak anemia. Satu buah sekitar 175 ribu. Tinggal 175 ribu kali empat dalam sebulan," jelasnya.

Dengan sejumlah alasan di atas, menjadi dasar kenapa KPCDI begitu kekeh mengupayakan pembatalan kenaikan iuran BPJS.

"Ya, makanya kami rentan gagal bayar iuran yang naik 100 persen," tutur Petrus. 

Berdasarkan data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 150 ribu pasien di seluruh Indonesia yang mengidap gagal ginjal dan diwajibkan untuk melakukan cuci darah secara berkala. 

Disinggung perihal defisit anggaran pemerintah, Petrus mengungkapkan pandangannya.

Menurutnya, kenaikan iuran BPJS bukan jalan keluar untuk menutup defisit keuangan BPJS.

"Tugas negara untuk menjamin kesehatan rakyatnya. BPJS Kesehatan harus diaudit agar tidak bocor."

"Pemerintah harus menjalankan program promotif dan preventif, agar penyakit kronis seperti gagal ginjal tidak bertambah banyak. Sehingga mengurangi beban BPJS Kesehatan," tutupnya.

(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas