Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tugas Evi Novida Ginting Manik di Divisi Teknis KPU RI Diambil Alih Hasyim Asyari

Hasyim Asyari ditunjuk untuk menangani tugas Evi Novida Ginting Manik di Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Tugas Evi Novida Ginting Manik di Divisi Teknis KPU RI Diambil Alih Hasyim Asyari
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hasyim Asyari ditunjuk untuk menangani tugas Evi Novida Ginting Manik di Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Hal tersebut seiring dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan tetap Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU RI.

“Untuk melaksanakan tugas divisi teknis yang selama ini diemban Evi, maka KPU menugaskan wakil ketua divisi teknis, Hasyim Asyari yang akan menjalankan tugas tersebut,” kata Pramono Ubaid, Komisioner KPU RI, pada saat sesi jumpa pers di kantor KPU RI, yang disiarkan melalui live streaming, Kamis (19/3/2020).

Baca: Komisi II DPR Masih Pelajari Secara Mendalam Keputusan DKPP

Sementara itu, Evi Novida Ginting akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020.

Dia merasa keberatan setelah diberhentikan tetap oleh pihak DKPP sebagai Komisioner KPU RI.

Evi diberhentikan karena dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik mengintervensi jajaran KPU Provinsi Kalimantan Barat terkait penetapan hasil perolehan suara dan penetapan calon terpilih anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Baca: DKPP: Jajaran KPU Intervensi Hasil Perolehan Suara Caleg DPRD Kalimantan Barat

Berita Rekomendasi

“Saya akan mengajukan gugatan untuk meminta pembatalan putusan DKPP,” kata Evi.

Evi mengungkapkan sejumlah alasan merasa keberatan terhadap putusan tersebut.

Pertama, kata dia, Hendri Makaluasc, selaku pengadu pada perkara tersebut sudah mencabut permohonan.

“Pengadu sudah mencabut pengaduan dalam sidang DKPP tanggal 13 November 2019. Pencabutan disampaikan pengadu kepada majelis DKPP secara langsung dalam sidang dengan menyampaikan surat pencabutan laporan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,” kata dia.

Adanya pencabutan permohonan itu, menurut dia, menandakan pengadu menerima keputusan KPU Kalimantan Barat. Selain itu, dia menegaskan, tidak ada pihak dirugikan atas terbitnya Keputusan KPU Kalimantan Barat Nomor: 47/PL.01.9- Kpt/61/Prov/IX/2019 yang dibuat atas dasar rapat pleno tertutup tanggal 10 September 2019.

Baca: BREAKING NEWS: DKPP Jatuhkan Sanksi Pemberhentian Tetap Kepada Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting

“DKPP memiliki kewenangan secara pasif mengadili pelanggaran kode etik yang diajukan pengadu. Artinya DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaaan etik secara aktif apabila tidak ada pihak yang dirugikan. Pencabutan pengaduan mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar menggelar peradilan etik lagi,” tegasnya.

Jika, mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dia mengklaim, DKPP telah melebihi kewenangan. Sebab, aturan itu menegaskan DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang bersifat pastif. Atau dalam arti lain, DKPP tidak dapat bertindak apabila ada pihak yang dirugikan.

Alasan kedua, dia mengungkapkan, putusan DKPP kepada jajaran KPU RI dan KPU Kalimantan Barat berlebihan, karena tidak ada pihak dirugikan. Dia menilai, pokok permasalahan berada pada perbedaan penafsiran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait Perkara Nomor: 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.

Alasan ketiga, dia menambahkan, putusan DKPP itu menandakan majelis sidang DKPP tidak melaksanakan Pasal 36 ayat 2 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019, yang mewajibkan pleno pengambilan keputusan dihadiri paling sedikit 5 orang anggota DKPP.

Dia membeberkan putusan DKPP itu diputuskan oleh empat orang ketua dan anggota DKPP, yaitu Muhammad selaku Plt. Ketua merangkap Anggota, Alfitra Salam, Teguh Prasetyo, dan Ida Budhiati.

“Putusan cacat hukum dan mengakibatkan batal demi hukum. Semestinya tidak dapat dilaksanakan,” katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas