Ali Fikri Tepis Tudingan ICW Soal Proses Seleksi Jabatan Struktural di KPK Kurang Transparan
KPK menyanggah pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut proses selesi jabatan struktural dilakukan secara diam-diam.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyanggah pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut proses selesi jabatan struktural dilakukan secara diam-diam.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, seleksi dilakukan terbuka mulai dari sumber peserta, mekanisme seleksi, dan tahapan yang sedang berlangsung.
"Kami memastikan bahwa dalam pelaksaaan tugasnya, KPK selalu berpegang pada ketentuan UU KPK, sebagaimana tercantum pada Pasal 5 terkait asas yang menjadi pedoman KPK. Tiga di antaranya adalah kepastian hukum, keterbukaan, dan akuntabilitas," kata Ali Fikri saat dihubungi, Senin (30/3/2020).
Ali menjelaskan, tahapan seleksi empat pejabat struktural tersebut meliputi tes administrasi dan potensi serta assessment, telah dilaksanakan pada 5 sampai 17 Maret 2020.
Adapun empat bukan enam seperti yang disebutkan ICW posisi struktural yang sedang kosong itu adalah Deputi Penindakan, Deputi Informasi dan Data, Direktur Penyelidikan, dan Kepala Biro Hukum.
Menurut Ali, dari tes potensi dan assessment untuk jabatan Deputi Pemnindakan, lulus 3 calon dari 11 pelamar.
Baca: Kemenlu RI Belum Terima Jadwal Pemulangan Jemaah Umrah Overstay di Arab Saudi
Deputi Informasi dan Data jumlah pelamar 12 orang, yang lulus 3 peserta.
Karo Hukum jumlah pelamar 14 orang yang lulus 4 orang.
"Direktur Penyelidikan jumlah pelamar 16 orang yang lulus 4 orang," jelas Ali.
Ali menambahkan, peserta yang lulus berasal dari pegawai internal KPK maupun eksternal, yakni dari kementerian atau lembaga.
Seleksi selanjutnya adalah tes kesehatan dan wawancara yang akan dilakukan pada 2 sampai 7 April 2020.
"Proses seleksi yang dilakukan menggunakan metode dan cara yang sama sebagaimana yang selalu dilakukan KPK saat melakukan seleksi jabatan struktural," Ali menjelaskan.
Baca: Terkesan Diam-diam, ICW Minta KPK Terbuka Penyeleksian Deputi Penindakan
Proses seleksi, Ali menambahkan, menggunakan jasa pihak ketiga yang profesional dan independen.
Secara paralel, ujar Ali, KPK memonitor rekam jejak peserta, baik dilakukan oleh internal KPK maupun kerja sama dengan lembaga eksternal.
Terakhir tes wawancara dan kesehatan.
KPK pun mengajak publik untuk turut mengawal prosesnya dan terbuka atas masukan dari masyarakat terkait proses seleksi tersebut.
Sebelumnya, ICW meminta KPK transparan menyampaikan informasi mengenai proses seleksi enam jabatan struktural, terutama Deputi Penindakan.
Baca: Firli Bahuri: Proses Seleksi 6 Jabatan Struktural Sesuai Pedoman SDM KPK
Hal ini lantaran ICW menilai proses seleksi enam jabatan struktural KPK, termasuk Deputi Penindakan yang bergulir sejak Maret lalu terkesan berjalan diam-diam.
"Kami meminta KPK membuka informasi mengenai proses tahapan dan nama-nama calon yang mengikuti seleksi Deputi Penindakan," kata Peneliti ICW Wana Alamsyah, Senin (30/3/2020).
Wana mengatakan, hingga saat ini, hampir tidak ada informasi yang cukup detail dan transparan yang disampaikan KPK kepada publik, baik mulai dari tahapan seleksi hingga nama-nama calon pejabat struktural KPK yang sudah mendaftar.
Publik hanya mengetahui dari peserta yang mendaftar sebagai calon Deputi Penindakan KPK, yakni tujuh diantaranya berasal dari kepolisian dan empat berasal dari kejaksaan.
Padahal, sebagai lembaga yang menjadi pionir menerapkan prinsip transparansi dan tata kelola badan publik yang akuntabel, KPK sudah sepatutnya menjelaskan secara gamblang proses seleksi pejabat publik.
"Pimpinan KPK periode gagal memberi contoh kepada badan publik lainnya dalam upaya memberikan akses informasi publik. Padahal salah satu strategi mencegah kecurangan terjadi adalah dengan membuka informasi kepada masyarakat sebagai upaya check and balances," kata Wana.
ICW mengingatkan, dalam menjalankan tugas dan kewenangan, KPK berasaskan pada keterbukaan dan akuntabilitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU KPK.
Dalam peraturan perundangan yang lain, yaitu UU 14/2008 tentang Keterbukaan informasi Publik, tidak ada alasan pengecualian pada pasal 17 yang mendasari proses seleksi Deputi Penindakan tersebut merupakan informasi yang dikecualikan atau tertutup.
"Sehingga proses seleksi yang demikian tidak saja menyalahi asas dketerbukaan dan akuntabilitas dalam UU KPK, tetapi juga mengabaikan prinsip keterbukaan dalam UU KIP," ujar Wana.
Dengan proses seleksi yang terkesan tertutup ini, ICW khawatir akan semakin menambah kecurigaan adanya agenda terselubung untuk menempatkan pejabat tertentu di KPK yang sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, baik itu karena faktor jejaring individu, jaringan kelompok politik maupun arahan dari pihak tertentu yang tengah berkuasa.
ICW kemudian membandingkan dengan proses seleksi Deputi Penindakan pada 2018 ketika Ketua KPK saat ini Firli Bahuri terpilih sebagai Deputi Penindakan KPK.
Saat itu, informasi mengenai tahapan dan calon disampaikan oleh KPK. Bahkan KPK meminta bantuan lembaga lain, salah satunya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam konteks menggali rekam jejak setiap calon.
Menurut Wana, hal itu berbeda dengan proses seleksi saat ini di manar PPATK tidak dilibatkan sama sekali.
"Kami juga mendesak KPK melibatkan lembaga lain yang kompeten, terutama PPATK untuk menggali informasi mengenai transaksi keuangan dan menguji integritas dari setiap calon yang mendaftar," katanya.
Wana menyatakan, posisi Deputi Penindakan KPK memiliki peran sentral dalam proses penanganan perkara korupsi.
ICW khawatir jika posisi tersebut diisi oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kapasitas yang memadai akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK.
Hal ini semakin mengkhawatirkan lantaran mayoritas calon Deputi Penindakan yang telah diketahui publik berasal dari institusi penegak hukum.
Tak tertutup kemungkinan, jika Deputi penindakan KPK diisi oleh aparat penegak hukum akan terjadi potensi konflik kepentingan, terutama ketika KPK mengusut perkara korupsi di institusi penegak hukum tersebut.
"Untuk itu, kami mendesak Pimpinan KPK menunjukkan integritas, profesionalitas dan reputasi yang baik dalam keputusan-keputusan yang diambil dan mengikat kelembagaan KPK, termasuk dalam proses seleksi Deputi Penindakan KPK agar KPK tidak semakin kehilangan kepercayaan publik di kemudian hari," kata Wana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.